KOMPAS.com - Pada tahun 1986, dunia digemparkan dengan peristiwa penemuan 100 batang emas dan 20.000 keramik Dinasti Ming dan Ching dari kapal VOC Geldennalsen yang karam di perairan Kepulauan Riau pada Januari 1751. Penemu harta karun itu adalah Michael Hatcher, warga Australia, yang menyebut dirinya sebagai arkeolog maritim yang doyan bisnis.
Percetakan Inggris, Hamish Hamilton Ltd, memublikasikan kisah petualangan dan temuan Hatcher itu dalam The Nanking Cargo (1987). Nanking Cargo merupakan sebutan kargo kapal VOC Geldennalsen yang berisi barang-barang berharga hasil transaksi perdagangan VOC di Nanking, China.
Yang paling terkejut dengan temuan Hatcher itu adalah Pemerintah Indonesia. Bagaimana tidak, barang-barang yang dilelang Hatcher di balai lelang Belanda, Christie, senilai 15 juta dollar AS itu ditemukan di perairan Kepulauan Riau.
”Waktu itu, Pemerintah Indonesia merasa kecolongan lantaran Hatcher mengambil harta karun secara ilegal atau tidak seizin pemerintah,” kata Kepala Subpengendalian dan Pemanfaatan Direktorat Peninggalan Bawah Air Departemen Kebudayaan dan Pariwisata R Widiati di Rembang, Jawa Tengah, Selasa (18/8).
Bukan itu saja, pada 1999 di Batu Hitam, Bangka Belitung, sebuah perusahaan asing mengambil ratusan batangan emas dan 60.000 porselen China Dinasti Tang yang dilelang senilai 40 juta dollar AS. Setahun kemudian, perusahaan asing yang diduga di bawah kendali Hatcher mengangkut dan melelang 250.000 keramik China dari Selat Gelasa, Bangka Belitung, ke Nagel, balai lelang Jerman.
”Kami tidak mengetahui nilai lelang itu, tetapi kami sempat meminta dan mendapatkan 1.500 keramik untuk disimpan di Indonesia sebagai salah satu bentuk pelestarian peninggalan bawah air,” kata Widiati.
Peninggalan bawah air
Indonesia merupakan negara maritim yang mempunyai kekayaan bawah air. Salah satunya adalah benda-benda berupa keramik, emas batangan, uang logam, guci, gerabah, piring, gelas, mangkuk, dan patung yang ditemukan dari sisa kapal karam.
National Geographic (2001) menyebutkan tentang 7 kapal kuno tenggelam di perairan Indonesia bagian barat, terutama Selat Malaka, pada abad XVII-XX. Kapal-kapal itu adalah Diana (Inggris), Tek Sing dan Turiang (China), Nassau dan Geldennalsen (Belanda), Don Duarte de Guerra (Portugis), serta Ashigara (Jepang).
Hal itu belum termasuk kapal-kapal dagang abad III-XV yang didominasi saudagar China yang singgah atau berdagang di sejumlah pelabuhan pada zaman kerajaan di Nusantara. Misalnya, pendeta China, Yijing, mencatat kunjungannya ke Pelabuhan Sriwijaya pada abad VII untuk belajar bahasa Sanskerta.