Korelasi ini ikut dihubungkan dengan gejala anomali perubahan temperatur di Bumi. Data yang mereka peroleh menunjukkan, variasi perubahan iradiasi Matahari ternyata berbanding lurus pula dengan tren kenaikan suhu di Bumi.
Perubahan energi yang dipancarkan Matahari termasuk beragam variasinya, baik ultraviolet, kosmik, dan inframerah, sangat berkorelasi dengan perubahan temperatur di tiap planet, termasuk Bumi.
Dampak di tiap planet ditentukan faktor lokal, yaitu variasi kemiringan orbit, albedo (kemampuan merefleksikan kembali radiasi sinar ke atmosfer), dan aktivitas geologis seperti erupsi gunung berapi. Aktivitas manusia, yaitu efek rumah kaca, termasuk faktor lokal ini.
Meskipun demikian, mayoritas peneliti menolak anggapan sesuai uraian di atas.
Michaell Mann, meteorolog dari Penn State, Amerika Serikat, menuturkan, perubahan aktivitas Matahari dan segala variasinya hanya memengaruhi 0,1-1 persen iklim di Bumi. Tak cukup kuat untuk memicu perubahan iklim dramatis di Bumi.
Apalagi, tingkat keaktifan Matahari memiliki periode tiap 11 tahun dan saat ini masih dalam fase nonaktif. Sangat jarang terlihat bintik Matahari, salah satu indikator turunnya keaktifan Matahari, akhir-akhir ini.
”Mereka yang tidak bisa menerima eksistensi faktor antropologis (aktivitas manusia) terhadap perubahan iklim, terus mencoba mengarahkannya ke aktivitas Matahari,” ucap Penn.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!