Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis yang Mendorong Kelahiran Kembali

Kompas.com - 31/07/2009, 11:27 WIB

Seperti dikutip oleh Hermansen, Kampmann mengatakan, ”Denmark (ketika itu) menghubungkan masalah energi dan lingkungan awal tahun 1970-an, jauh sebelum banyak negara lain memikirkan itu. Ekonomi diartikan sama dengan menekan konsumsi energi. Ini menghasilkan ’win-win scenario’ untuk Denmark.” Hasilnya, kini Denmark adalah negara dengan efisiensi energi tertinggi per pendapatan negara.

”Pasar tak dapat menghadapi ini sendirian. Sungguh penting ada beragam insentif dan peraturan yang ditetapkan pemerintah,” ujar Kampmann, seperti tertulis di majalah Monday Morning edisi November 2008.

Negara semakin fokus pada persoalan energi. Ketika dunia belum berbicara energi angin, Tvind School sudah membuat turbin angin. Cara menghubungkan energi dengan ekonomi itulah titik sukses awal Denmark, seperti dikatakan Direktur Eksekutif dari Lembaga Penelitian Denmark Mette Wier.

Pemerintah yang mendengarkan

Momen perubahan terjadi pada 1976. Badan Energi Denmark didirikan dan untuk pertama kali ada rancangan energi terpadu. Agenda utamanya adalah mengurangi ketergantungan pada minyak dan mengurangi konsumsi energi. Orang mulai memasang insulasi untuk mengurangi kebutuhan pemanas rumah.

Dibangunlah pembangkit tenaga listrik terpadu combined heat and power (CHP) untuk pertama kalinya. Sistem ini merupakan sistem paling efisien dibandingkan sistem yang diterapkan banyak negara.

”Biasanya air panas hasil proses pendinginan mesin pada pembangkit listrik dibuang percuma, dalam sistem ini air tersebut diambil panasnya sebagai pemanas bangunan,” ujar Hermansen. Tahun 2005 Denmark telah memiliki 694 pembangkit kombinasi CHP dengan berbagai ukuran kapasitas. Selain CHP pusat, sejumlah CHP regional dan lokal dibangun untuk meningkatkan efisiensi yaitu agar panas tidak hilang akibat jarak suplai yang jauh.

Sistem itu sukses menghemat bahan bakar hingga 30 persen, sementara efisiensi bahan bakar naik dari 40 persen menjadi 90 persen. ”Nyaris tak ada yang terbuang,” kata Hermansen.

Pemerintah saat ini menyuplai pemanas dari CHP ke 60 persen jumlah bangunan secara nasional atau ekivalen dengan sekitar 800.000 bangunan rumah. Sekitar 25 persen pemanas tersebut disuplai dari bahan bakar biomassa.

Krisis minyak global kedua tahun 1978-1979 kembali mendorong perubahan besar-besaran. Tahun 1979 pertama kalinya Denmark memiliki Kementerian Energi dan parlemen meloloskan peraturan tentang distribusi gas alam dan pemanas. ”Tahun 1979-1985 ada pencapaian besar ketika konsumsi energi turun 25 persen-30 persen. Ini rekor dunia,” ujar konsultan senior Badan Energi Denmark Peter Bach (Monday Morning edisi November).

Ketika negara melirik energi nuklir, Tarjei Haaland dari Greenpeace memunculkan gerakan antinuklir terbesar di Denmark yang melibatkan organisasi akar rumput. Mereka menolak penggunaan nuklir sebagai sumber energi.

Wartawan koran Politiken Flemming Ytzen pada perjumpaan dengan Kompas awal Juni lalu di Kopenhagen menyatakan, ”Penolakan nuklir dan dorongan agar pemerintah lebih memegang paradigma hijau berawal dari media massa, organisasi nonpemerintah, dan organisasi masyarakat lainnya. Kami beruntung memiliki pemerintah yang baik, yang mau mendengarkan suara kami. Kami kemudian diajak duduk bersama untuk mengemukakan pendapat kami. Dan, mereka mendengarkan, menyetujuinya, dan melakukannya.”

Jika demikian halnya, tidak heran bahwa penduduk negeri dongeng ini kemudian dinobatkan menjadi penduduk paling bahagia di dunia. Dan, dengan semua kebijakan politik dan keputusan pemerintah itulah Denmark lahir kembali sebagai negara yang sama sekali berbeda: tidak lagi bergantung pada minyak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com