Penyedia jasa penanggulangan terorisme, dengan demikian, sangat tertantang untuk menciptakan alat deteksi yang mudah digunakan, bahkan oleh mereka yang sebelumnya tidak berpengalaman mendeteksi bahan peledak, sementara alat deteksi baru ini akan mampu mendeteksi bahan peledak jenis apa pun, tentunya termasuk jenis yang berdaya ledak tinggi, seperti C4, TNT, dan PETN.
Sistem deteksi jejak bahan peledak kreasi AI yang dikenal dengan nama XD-2i menggunakan ilmu kimia analitik khusus untuk mendeteksi bahan peledak. ETD bisa dengan cepat dan andal mendeteksi bahan peledak komersial, militer, dan buatan rumahan, seperti bahan peledak cair, serbuk hitam, nitroselulosa, bubuk senapan tanpa asap, ANFO, nitrat, nitro-aromatik, bahan peledak plastik, peroksida, klorat, dan lainnya.
Di luar alat
Seperti juga disinggung dosen filsafat politik Armada Riyanto, dalam tulisannya di harian ini kemarin, Erich From telah mengingatkan bahwa teror merupakan produk tindakan sistematis. Ada rancangan, kepastian metodologi, target, sistem perekrutan, pelatihan, organisasi, dan tentu ideologi.
Karena itu pula, langkah untuk menghadapinya pun tidak bisa dengan langkah setengah-setengah, apalagi asal-asalan. Dengan pengalaman tragis beberapa kali di Tanah Air, tampak jelas bahwa selain alat/sarananya tidak memadai, konsepnya pun tampaknya perlu dirombak total.
Di ujung depan, seperti dikemukakan Makmur Keliat, pastilah dibutuhkan penyegaran struktur dan kerja intelijen. Seperti dikemukakan pengamat militer F Djoko Poerwoko, saat ini di Indonesia hanya ada satu badan intelijen strategis, yakni Badan Intelijen Negara. Di Australia ada lima, yakni Office of National Assessments (ONA), Australian Secret Intelligence Service (ASIS), Australian Security Intelligence Organisation (ASIO), Defence Intelligence Organisation (DIO), dan Defense Signal Intelligence (DSI) (Angkasa, Edisi Koleksi, ”Menguak Tabir Operasi Intelijen dan Spionase”, 2009).
Tentu Australia ingin menjalankan operasi intelijen secara tajam, spesifik. Negara yang dihadapkan pada tantangan intelijen akut seperti Indonesia jelas membutuhkan dukungan operasi dinas intelijen yang canggih.
David Owen dalam bukunya, Hidden Secrets: A Complete History of Espionage, and the Technology Used to Support It (2002), menjelaskan sejumlah istilah yang relevan dengan urusan kita hari-hari ini, yakni HUMINT (human intelligence) untuk pengintaian manusia, SIGINT (signal intelligence) yang terkait penguraian pesan dan analisis trafik, ELINT (electronic intelligence) yang melibatkan sensor jarak jauh dan pengintaian satelit. Tidak kalah seru false intelligence, yang di dalamnya ada upaya-upaya pengelabuan, misinformasi, dan agen ganda.
Semua negara kini makin menempatkan intelijen sebagai prioritas, menyusun rencana agar intelijen lebih cerdas. AS melakukan ini karena setiap saat harus menghadapi lawan-lawan baru yang dilengkapi senjata yang makin mengerikan, kemampuan komunikasi dan koordinasi makin maju dan andal. Semua itu membuat AS harus mengubah cara mengumpulkan dan menganalisis intelijen, dan menerjemahkannya dalam kebijakan.
Ketika ada momentum bom di Ritz-Carlton dan Marriott, bukan hanya AS yang harus melakukan langkah di atas. Ini juga saatnya bagi Indonesia meng-overhaul dinas intelijennya, baik struktur, operasi, maupun teknologi yang diterapkannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.