Apabila dirunut sejarahnya, pengembangan TMC ternyata diperkenalkan oleh seorang Serbia bernama Tesla yang berimigrasi ke AS pada tahun 1890. Ia mengembangkan teknik mengarahkan gelombang magnetik ke udara untuk memengaruhi cuaca. Temuan itu kemudian dipatenkannya tahun 1905.
Mendatangkan hujan kemudian dikembangkan oleh pakar dari Rusia dengan teknik mini siklon. Dengan bantuan satelit, dihidupkan proses ionisasi langsung hingga terkumpul butiran air hingga menghasilkan hujan. Teknik lain yang diperkenalkan ahli dari Universitas Moskwa adalah mendatangkan hujan dengan mengaktifkan muatan elektron statis di laut sehingga terjadi penarikan uap air.
TMC di Indonesia
Teknologi penyemaian awan mengalami beberapa perkembangan di Indonesia. Sejak diaplikasikan tahun 1977, dari sisi penggunaan bahan penyemai, BPPT mencoba beberapa senyawa. Semula dipakai urea yang menyerap uap air. Penggunaan bahan ini ditolak petani karena menyebabkan menguningnya daun.
Kemudian dicoba menggunakan es kering atau CO2 padat. Tujuannya untuk memperbesar curah hujan dan volume awan. Namun, karena bersifat mencemari lingkungan, pilihan pun jatuh pada serbuk garam yang ramah lingkungan. Bahan ini digunakan sampai sekarang, kata Mahally.
Dilihat dari prasarana yang digunakan, yaitu pesawat terbang, ujar Syamsul, penyemaian awan dengan menaburkan garam dilakukan lewat lubang di perut pesawat. Operasi hujan buatan dengan pesawat ini antara lain digunakan untuk mengisi waduk. Cara tradisional ini, tambah Mahally, mengalami pengembangan, yaitu dengan penambahan mesin siklon untuk menyemburkan serbuk garam pada sasaran.
Adapun penggunaan tabung karton berisi garam padat yang disebut flare yang dipasang di bagian belakang sayap pesawat terbang diperkenalkan di Indonesia oleh perusahaan AS yang membantu operasi hujan buatan untuk mengisi waduk di Soroako pada tahun 1996.
Untuk mengurangi ketergantungan pada pihak asing, BPPT membuat sendiri flare beberapa tahun terakhir. Saat ini telah ada enam prototipe flare yang dibuat, papar Mahally. Dalam tabung itu berisi bahan bakar magnesium dan sumber oksigen berasal dari kalium perklorat (KClO4). Adapun bahan semainya adalah garam atau kalsium klorida. ”Penggunaan flare memiliki kelebihan, seperti mudah dan cepat pengoperasiannya serta tidak melibatkan banyak orang dalam penyemaiannya,” ujar Syamsul.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.