Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Industri Mie dan Soun Kesulitan

Kompas.com - 21/05/2009, 21:40 WIB

BANYUMAS, KOMPAS.com - Industri mie dan soun di Banyumas terancam gulung tikar menyusul makin sulitnya mendapatkan suplai minyak tanah. Dalam setengah tahun terakhir, industri kecil makanan ini rata-rata telah merumahkan separuh karyawannya karena pengurangan produksi akibat kesulitan mendapatkan suplai bahan bakar.

Ketua Asosiasi Makanan dan Minuman Banyumas, Gunawan, Kamis (21/5), mengungkapkan, di Banyumas terdapat tujuh industri kecil mie kuning, dan sekitar 40 industri kecil soun. Sejak jatah minyak tana h untuk Banyumas dikurangi menyusul pelaksanaan konversi ke gas elpiji, perusahaan-perusahaan kategori kecil tersebut terpaksa mengurangi produksi.

"Sekarang ini bukan hanya harga bahan bakarnya yang mahal, tapi ketersediannya pun sulit. Padahal, kebutuhan bahan bakar untuk memasak mie atau pun soun itu besar. Satu hari, satu perusahaan membutuhkan minimal 150 liter minyak tanah," kata Gunawan.

Saat ini tak mudah untuk mendapatkan minyak tanah sebanyak itu. Mendapat jatah minyak tanah 100 liter pun sudah cukup bagus dalam sehari. Risikonya, kegiatan produksi pun berkurang.

"Rata-rata, perusahaan mie atau soun di Banyumas ini semula memperkerjakan 60 sampai 70 karyawan. Tapi, sejak konversi, berkurang menjadi 30 sampai 40 karyawan saja. Dampaknya tiga hal, produksi turun, pengangguran bertambah, dan beban kerja karyawan yang tersisa menjadi besar untuk mencapai target produksi baru," papar dia.

Sampai saat ini, industri-industri tersebut belum menemukan bahan bakar pengganti yang pas untuk memproduksi mie kuning dan soun. Untuk membuat mie, dibutuhkan panas yang stagnan dan senantiasa bertemperatur tinggi. Pasalnya, yang dibutuhkan untuk memasak mie adalah uap air.

Gas elpiji sebagai pengganti minyak tanah belum dapat benar-benar difungsikan untuk industri ini. Pasalnya, sampai saat ini belum ada kompor ataupun tungku yang pas sebagai alat produksi dalam industri mie dan soun. Kompor elpiji standard belum bisa dipakai karena sifatnya tak dapat menyemburkan api seperti halnya minyak tanah.

"Karena itu, kami berharap pemerintah membantu. Mungkin pada peralatan atau modal untuk investasi alat produksi baru. Kalau tidak, mungkin bulan Juli nanti bisa kolaps karena minyak tanah akan semakin jarang. Padahal, banyak tenaga kerja yang diperkerjakan di sektor ini," ungkap dia.

Bahan bakar lain, seperti batubara, sejauh ini belum dapat dimanfaatkan. Sebab, sifat bakar batubara kurang cocok untuk pemanasan mie yang memerlukan output berupa uap air. Di samping itu, pembakaran batu bara menghasilkan polusi yang tinggi.

Hartono (45), salah seorang pengusaha soun di Sokaraja, mengatakan, pemerintah daerah seharusnya membantu penyediaan minyak tanah untuk industri. Meskipun konversi tetap jalan, diharapkan tetap ada kuota minyak tanah yang sesuai dengan kebutuhan.

"Sekarang ini kondisi kami sangat sulit. Untuk membuat alat pembakaran baru menggantikan minyak tanah butuh modal besar, sementara produksi kami terus turun," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau