Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Pasemah, Batu Gajah "Kutukan" Si Pahit Lidah

Kompas.com - 10/03/2009, 13:18 WIB

"Seluruh peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa pada masa lampau di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal manusia, di daerah tepian sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian yang lebih sedikit maju ditemukan di daerah kaki Gunung Dempo di sekitar kota Pagar Alam sekarang. Di daerah ini ditemukan banyak sekali arca megalit dan bilik-bilik batu yang berhiaskan lukisan...," tulis arkeolog Bambang Budi Utomo (Kompas , 26 Agustus 2005).

Obyek studi

Sejak zamannya Ulman, peneliti zaman klasik itu selalu menghubungkan seni hias yang ada dengan budaya Hindu. Bahkan, Tombrik tahun 1872 menuliskan laporan Hindoe Monumenten in de Bovenlanden van Palembang, als van Geschiedkundig Onderzoek.

Kesimpulan sementara budaya Hindu itu kemudian dibahas lebih tajam pada buku disertasi karya ANJ Th van der Hoop, Megalithic Remains in South Sumatra, 1932.

Saat itulah situs di Pasemah itu terkenal sebagai situs megalitik di Sumsel, berikut penerbitan Megalithische Oudheden in Zuid- Sumatra , seraya mengakhiri debat ilmiah perihal pengaruh Hindu.

Wujud manusia biasanya dengan tubuh tambun, berikut bentuk tangan, kaki, perut, dan leher yang gemuk. Umumnya badan manusia itu membungkuk dengan kepala berketopong menghadap ke depan atau agak menengadah.

"Bentuk lainnya ada juga tokoh manusia menggamit seekor kerbau selain gajah. Ada teori klasik yang menyebutkan kalau gajah dan kerbau merupakan hewan tunggangan, tetapi debat dan kilah ilmiah arkeologis itu kini belum dilanjutkan dengan penelitian komprehensif, ujar Nurhadi yang mengakui instansinya tidak ada anggaran untuk studi megalit di Sumsel.

Sambil menyusuri takikan halus di batu besar itu, Nurhadi mengatakan kalau seni pahat megalitik itu amat mengagumkan. Torehan pahat, tatahan, pahatan permukaan batu pejal itu, dibuat amat halus dan proporsional, mengikuti bentuk dasar batu. Batu gajah yang diteliti Van der Hoop dan diboyong ke Palembang di zaman 70-an memiliki alasan tersendiri.

"Kami upayakan menemukan catatan lama soal kejadian itu karena tidak mungkin batu berton-ton beratnya itu diangkut tanpa maksud dan tujuan ilmiah," ucapnya.

Suasana Museum Balaputradewa di Palembang pagi hari itu ramai dikunjungi rombongan siswa SLTA. Seperti biasanya museum pemerintah, pelajar itu berjalan bebas tanpa ada bimbingan guru atau juru penerang dari museum. Batu gajah besar itu hanyalah batu tanpa pesan dan kesan ilmiahnya.

Kisah manusia dan gajah yang "dikutuk" Si Pahit Lidah menjadi batu kaku hanya menjadi pajangan koleksi biasa. Mungkin sekali waktu perlu ada tokoh "Si Manis Lidah" agar bisa menjelaskan latar belakang budaya luhur Sumsel dan kisah Si Pahit Lidah, sambil menjelaskan contoh ilmiah batu gajah yang misterius, tetapi serius! (RUDY BADIL/Wartawan Senior di Jakarta)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com