Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkacalah pada Gary, Pelestari Orang Utan

Kompas.com - 02/03/2009, 23:50 WIB

"Di Sumatera, siklus yang terjadi adalah perubahan fungsi hutan menjadi lahan sawah dan pemukiman. Di Kalimantan lebih hancur lagi karena beralih ke areal industri," pungkas Gary.

Selain habitat yang terus berkurang, ancaman utama semakin berkurangnya orang hutan adalah perburuan liar. Apalagi tingkat reproduksi yang rendah.

"Reproduksi orang utan sangat lamban. Tujuh tahun baru punya anak, itu setelah si anak terbilang dewasa dan mandiri," ujarnya. Menurutnya orang utan itu sangat sayang kepada anaknya.

Namun, sifat inilah yang membuatnya semakin diincar pemburu. Ketika si pemburu liar ingin mengambil anak orang utan, ia seringkali harus membunuh induknya karena untuk menghindari induk yang akan mencakar, mengamuk, dan mengahalangi siapapun yang menyakiti anaknya.

Dari hasil penelitiannya, Gary pun dapat menjelaskan perbedaan orang utan Kalimantan dengan Sumatera. Ia mengatakan meskipun lebih banyak populasinya, orang utan di Kalimantan memiliki kemampuan bersosialisasi sangat minim ketimbang orang utan Sumatera.

Menurut Gary ini disebabkan pendeknya waktu menetap sang jantan dan kurang lebih seminggu. Bandingkan dengan pasangan orang utan Sumatera yang menghabiskan waktu untuk menetap selama 2-3 minggu bersama pasangannya. Selain itu 99 persen orang utan Kalimantan lebih banyak hidup di atas pohon.

"Inilah yang jadi faktor kenapa orang utan Kalimantan disebut spesies minim sosialisasi," ungkap Gary.

Perbedaan yang sangat jelas juga terlihat pada fisiknya. Bila orang utan Sumatera lebih berwarna coklat cerah sementara Kalimantan berwarna coklat gelap.

Meski bolak-balik Indonesia - Amerika, hingga kini genap 31 tahun Gary mendarmakan dirinya dalam hutan belantara orang utan di Indonesia. Harapannya pun tidak muluk-muluk yakni merubah paradigma masyarakat Indonesia akan orang utan bahwa makhluk langka ini tidak boleh diambil untuk dipelihara terlebih lagi diperjualbelikan.

"Bisa merubah paradigma orang Indonesia untuk mengenal orang utan lebih banyak, bahwa tidak boleh dipelihara," harapnya.

Ia juga berharap adanya kurikulum khusus untuk lebih memperkenalkan orang utan kepada orang Indonesia yang menjadi "pemilik" asli. Jadi, siapa lagi yang bakal melestarikan keberadaan orang utan jika bukan kita, masyarakat Indonesia. Haruskah menunggu sampai orang utan nyaris punah. Pastinya tidak bukan!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com