Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencandai Bekantan, Suatu Petang

Kompas.com - 06/07/2008, 09:20 WIB

"Sssssstttt.....," Amir Ma'ruf memberi tanda agar kami tidak berisik. Pak Muzakir sudah lebih dulu mematikan mesin perahu motor yang kami tumpangi. Suara daun kering, ranting rapuh yang jatuh ke sungai, dan desis ular yang melintas membingkai suasana petang di muara Sungai Hitam, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Suara derak pohon diayun mulai terdengar. Beberapa monyet kecil berhidung mancung berbulu lebih terang dibandingkan jenis-jenis monyet lain tampak mengintai. Lalu terdengar kode suara dari monyet yang lebih besar. Dan, siuuuttttttt…….., bum..., ia melompat, diikuti tiga monyet lain yang lebih kecil, melesat memasuki semak-semak tebal, lalu menghilang.

Di pohon lain, serombongan monyet mengintai. Kembali, yang besar memberi kode, lalu pengikutnya mengikuti sang pemimpin, menjauhi perahu kami. Tetapi, sebenarnya mereka tak benar-benar jauh. Sebagaimana kami yang mengintai gerak-gerik mereka, mereka juga mengintai gerak-gerik kami. Sekali saja terdengar gerak yang mencurigakan, suara riuh akan terdengar, lalu sunyi karena semua monyet bersembunyi.

Itulah bekantan (Nasalis larvatus), yang punya nama internasional Proboscis Monkey. Bekantan adalah satwa endemik Kalimantan yang langka dan dilindungi. Jenis satwa ini masuk dalam Red Data Book, artinya, tergolong spesies yang terancam punah dengan status vulnerable atau rentan punah. Satwa ini juga masuk dalam Appendiks 1 Cites, yakni jenis satwa yang tak boleh diperdagangkan.

Namun, seluruh aturan konservasi internasional acap kali tumpul di lapangan. Jumlah bekantan terus menipis. Habitatnya dihancurkan manusia. Pun keberadaannya karena manusia lebih bertindak sebagai predator ketimbang pelindung. Binatang yang sering disebut monyet belanda—karena hidungnya mancung dan warna bulunya terang—itu tak mudah ditemukan, di habitat aslinya sekali pun.

Pengalaman menyusuri Sungai Ohong di Tanjung Isuy, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, beberapa waktu lalu untuk memotret bekantan sungguh sulit. Kami harus bolak-balik dengan perahu menghanyut di arus sungai selama berjam-jam baru bisa mengambil sedikit foto.

Menjauh, mendekat

Namun, situasi itu berbeda dengan di Sungai Hitam. Di wilayah muaranya, gerak lincah bekantan yang menjauh, mendekat, mengendap, mengawasi gerak kami, meniupkan semacam perasaan sukacita, sekaligus miris, karena sebenarnya kami tengah mengusik ketenangannya. Namun, meski tampaknya terus waspada, bekantan-bekantan itu seperti memberi kami kesempatan seluas-luasnya untuk mengabadikan gerak mereka ke dalam kamera.

”Mereka sudah beradaptasi dengan lingkungannya dan terbiasa berada di habitat yang berdampingan dengan manusia,” ujar Amin Ma’ruf, dokter hewan yang menjadikan dirinya teman para bekantan.

Amin meneliti perilaku bekantan di situ sejak lima tahun lalu. ”Populasi bekantan di sini sehat, ditandai dengan bertambahnya populasi dalam empat tahun terakhir,” lanjut Amin.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com