KOMPAS.com - Minggu, 24 Februari 2020, sejumlah wilayah di Indonesia kembali diguyur hujan lebat. Salah satu daerah yang merasakan banjir akibat hujan deras itu adalah Jakarta dan sekitarnya.
Dalam pemberitaan sebelumnya, BMKG mengatakan, kondisi ini disebabkan oleh fenomena cuaca ekstrem yang sedang melanda Indonesia.
Berdasarkan data yang dimiliki BMKG, kejadian fenomena cuaca dan iklim ekstrem menjadi semakin sering dalam 30 tahun terakhir, dengan intensitas yang semakin tinggi.
"Kondisi ekstrem ini kejadiannya semakin sering sejak 30 tahun terakhir dan jangka tahunnya semakin pendek. Hari ini adalah sebagian dari fenomena (cuaca ekstrem) yang panjang tadi," ujar Dwikorita Karnawati, MSc selaku Kepala BMKG, Selasa (25/2/2020).
Proyeksi perkembangan perubahan iklim, menurut BMKG, masih akan berlangsung hingga periode tahun 2040 mendatang.
Benarkah akan berlangsung hingga 2040?
Menjawab pertanyaan itu, Kompas.com menghubungi Zadrach Ledoufij Dupe, pakar meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), melalui sambungan telepon, Kamis (27/2/2020).
Zadrach mengatakan, turunnya intensitas curah hujan juga dipengaruhi oleh fenomena El Nino dan Dipole Mode dalam tahun tersebut. Inilah yang menyebabkan intensitas hujan dan waktu awal musim hujan tak selalu sama setiap tahun.
Untuk diketahui, El Nino adalah fenomena memanasnya suku muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur. Untuk wilayah Indonesia, dampak El Nino adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan.
Sementara Dipole Mode (DM) merupakan fenomena mirip El Nino, tetapi kejadiannya di Samudra Hindia. Fenomena ini mengakibatkan perairan di sekitar Indonesia jauh lebih dingin dari biasanya dan menyebabkan tidak adanya penguapan.
Zadrach menjelaskan, ketika fenomena Dipole Mode muncul, udara di Indonesia bergerak turun ke bawah. Hal ini menyebabkan tidak ada pertumbuhan awan, curah hujan minim, dan udara kering bergerak sampai Australia yang menyebabkan kebakaran parah juga di sana.
Zadrach menceritakan, dirinya pernah membuat model untuk memprediksi munculnya fenomena El Nino yang berdampak untuk Indonesia.
"Itu dari El Nino 1997 yang sangat ekstrem. Nah, dari model yang saya buat, diprediksi kira-kira tahun 2032 akan muncul El Nino seperti itu lagi (yang mirip dengan El Nino 1997)," kata Zadrach.
Sebagai pengingat, El Nino 1997 tercatat sebagai fenomena terburuk yang dirasakan Indonesia dan beberapa negara di dunia.
Fenomena ini memicu kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan parah hingga kebakaran hutan di Indonesia, India, Afrika, dan Australia.
El Nino 1997 juga ikut berperan dalam krisis keuangan Asia yang terjadi 1997-1999. Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand merupakan negara-negara yang terkena dampak krisis terparah.
Zadrach mengatakan, dari pemodelan yang dibuatnya tampak bahwa ada fluktuasi naik turun dari fenomena El Nino. Hal ini terus terjadi sepanjang tahun.
"Cuma yang tidak dapat kita pastikan, kapan tepatnya itu terjadi (fenomena El Nino 1997 berulang). Makin jauh waktu yang kita prediksi, erornya makin besar," kata Zadrach.
"Jadi kalau ditanya kapan tepatnya (fenomena El Nino buruk muncul), saya tidak tahu. Tapi apakah kemungkinan akan kembali terjadi, jawabannya iya," imbuhnya tegas.
Dalam berita sebelumnya dijelaskan bahwa fenomena El Nino pada 2019 menyebabkan curah hujan lebih deras pada 2020.
Hal ini pula yang menyebabkan sejumlah wilayah di Indonesia, terutama Jakarta, dilanda banjir.
https://sains.kompas.com/read/2020/02/28/100752723/cuaca-ekstrem-indonesia-diprediksi-berlangsung-hingga-2040-benarkah