Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Refleksi Kesadaran Lingkungan dari Orangutan Borneo

Foto ini merupakan karya fotografer amatir yang diunggah dalam akun Instagram @anil_t_prabhakar.

Saat itu, Prabhakar, pemilik akun sekaligus fotografer amatir tersebut, tengah melakukan safari bersama temannya di hutan konservasi yang dikelola oleh Borneo Orangutan Survival Foundation (BOS) ketika menyaksikan momen itu terjadi.

Kentalnya emosi dalam foto tersebut, kemudian membuatnya viral di media sosial dengan mendapatkan lebih dari 82.000 likes dan kemudian menjadi buah bibir di dalam pemberitaan CNN dan media lain.

Apabila fenomena tersebut dibahas dengan pendekatan bagaimana agenda publik akhirnya menjadi agenda media, mungkin sudah terlalu sering dilakukan.

Yang menarik adalah bagaimana fenomena tersebut dibahas dalam perspektif komunikasi lingkungan.

Komunikasi lingkungan bukanlah sekadar percakapan tentang topik lingkungan. Jauh daripada itu, dalam bukunya Environmental Communication and the Public Sphere, Phaedra C Pezzullo dan Robert Cox (2018) menyebutkan bahwa komunikasi lingkungan menekankan pada peran bahasa, gambar visual, protes, musik, atau bahkan laporan ilmiah sebagai bentuk aksi simbolis yang berbeda ketika membahas suatu isu lingkungan.

Terminologi ini berasal dari Kenneth Burke (1966) dalam bukunya, Language as Symbolic Action, yang menyatakan bahwa bahasa yang paling tidak emosional pun persuasif.

Menurut Pezzullo dan Cox, komunikasi lingkungan memiliki dua fungsi, yaitu:

  1. fungsi pragmatis berupa menginformasikan, menuntut, meminta, mendidik, mengingatkan, membujuk, dan banyak lagi, terkait permasalahan lingkungan yang banyak disebabkan oleh aktivitas manusia
  2. fungsi konstitutif berupa membentuk, mengorientasikan, dan menegosiasikan makna, nilai, dan hubungan yang mengundang perspektif, membangkitkan keyakinan dan perasaan tertentu untuk menciptakan perasaan yang mungkin menggerakkan manusia untuk berbuat sesuatu.

Prabhakar melalui fotonya bermaksud mengomunikasikan masalah orangutan Borneo yang terancam punah karena aktivitas manusia, seperti deforestasi, pembukaan lahan untuk kepentingan industri, dan perburuan liar, melalui aksi simbolik orangutan yang memberikan pertolongan untuk manusia.

Makna tersirat bahwa kadangkala hewan lebih menunjukkan jalan kepada manusia, yang katanya "berperikemanusiaan", di saat rasa kemanusiaan itu sedang sekarat, dipertegas melalui caption dalam akun Instragram Prabhakar.

Melalui foto, Prabhakar berkomunikasi secara pragmatis dan konstitutif. Pragmatis karena ingin menginformasikan, menuntut, meminta, mendidik, mengingatkan, membujuk orang-orang agar menyadari habitat orangutan yang terancam.

Konstitutif karena makna dari aksi simbolik dalam foto membentuk perspektif dan membangkitkan perasaan yang menggerakkan manusia untuk berbuat sesuatu.

Lantas, pertanyaannya apakah orang bisa tergugah untuk berbuat sesuatu untuk lingkungannya hanya karena aksi simbolik dalam foto?

Jawabannya adalah tergantung kesadaran lingkungannya.

Manuel Sanchez (2010) dalam artikelnya pernah mengutarakan cara mengukur kesadaran lingkungan seseorang tersebut.

Untuk menghasilkan seseorang yang pro-lingkungan atau sadar lingkungan, maka dimensi afektif, kognitif, dan disposisi harus saling berhubungan sebab-akibat satu sama lain sehingga bermuara pada dimensi aktif.

Dimensi afektif merupakan kepercayaan atau nilai-nilai yang diyakini. Dimensi kognitif merupakan pengetahuan atau informasi yang dimiliki atau didapat seseorang dari lingkungannya.

Dimensi disposisi adalah sikap personal dari pengetahuan atau informasi dan keyakinan yang dimiliki.

Sementara itu, dimensi aktif merupakan perilaku pro-lingkungan itu sendiri.

Menurut Sanchez, jika pengetahuan atau informasi yang didapat seseorang menghasilkan kepercayaan atau nilai tersendiri, mereka akan merasa bertanggungjawab untuk menjaga lingkungan sehingga perilaku pro-lingkungan akan terwujud dan seseorang menjadi aktif menjaga lingkungannya.

Foto orangutan Borneo di media sosial menjadi asupan pengetahuan dan informasi bagi seseorang yang menerimanya.

Hal ini karena aksi simboliknya yang penuh makna menimbulkan keyakinan seseorang akan suatu nilai tertentu sehingga merasa bertanggung jawab atas apa yang tengah mengancam orangutan Borneo.

Alhasil, mereka menjadi aktif untuk berperilaku pro terhadap lingkungan dengan cara melakukan aktivisme lingkungan.

Aktivisme lingkungan di media sosial

Perpaduan konten media sosial berupa foto, caption, dan hashtag merupakan perpaduan yang kuat.

Merujuk pada fenomena keviralan foto orangutan Borneo, hal itu memperlihatkan bahwa aktivisme lingkungan telah aktif.

Media sosial menjadi wadah yang sangat menunjang terjadinya aktivisme lingkungan tersebut.

Setidak ada tiga wujud aktivisme di akar rumput dalam media sosial berkaitan dengan fenomena viralnya orangutan Borneo, yakni:

  1. aktivisme dalam bentuk alert, yaitu memberikan penamaan, peringatan, atau pemberitahuan tentang kejadian ini di media sosial,
  2. amplify yaitu meningkatkan jumlah orang yang melakukan kontak dengan pesan dengan cara memproyeksikan foto orangutan Borneo tersebut dan atau teks ke ruang publik untuk menghasilkan percakapan. Dalam hal ini, orang-orang yang tergerak melakukan aktivisme lingkungan dengan melakukan repost foto orangutan Borneo tersebut dan menambahkan caption serta hashtag yang menggugah orang lain untuk ikut ambil bagian atau paling tidak berkomentar,
  3. engagement yaitu mengambil tindakan nyata dari individu dan tindakan kolektif yang bertujuan memperbaiki keadaan.

Secara khusus tentang poin ketiga dari aktivisme lingkungan yang dilakukan di media sosial, berdasarkan studi yang pernah dilakukan Mindi D Foster et al (2019), aktivisme di media sosial apabila berdampak positif maka dapat mewujudkan tindakan kolektif.

Hal ini terjadi karena adanya perasaan merasa senang setelah unggahan tentang orangutan Borneo di media sosial karena merasa perbuatannya akan memberikan manfaat positif untuk orang lain.

Jika setiap orang merasakan hal tersebut maka mendorong tindakan kolektif di masa depan.

Jangan hanya sekadar "slacktivisme"

Banyak kritik tentang aktivisme di media sosial. Aktivisme nyata tidak hanya diwujudkan dalam bentuk klik tombol likes di media sosial, kemudian share/repost sambil memberikan sedikit caption dan hashtag.

Ada komentar cukup menarik dari Evgeny Morozov (2009) yang mengatakan bahwa merasakan senang setelah melakukan aktivisme di media sosial karena berdampak positif bagi banyak orang, sesungguhnya mereka sedang terjebak dalam ilusi slacktivist yang sebetulnya tidak memiliki dampak sosial apa pun.

"Slacktivisme" merupakan kata lain dari clicktivism, yakni suatu fenomena aktivisme masyarakat dengan cara melakukan klik atau menyebarkan konten tertentu di media sosial.

Morozov menambahkan bahwa slacktivism hanya tipe aktivisme ideal bagi generasi yang malas.

Banyaknya aktivisme di media sosial juga tidak lantas menjadi tindakan kolektif. Definisi tindakan kolektif sebagai niat, bukan hanya satu tindakan, untuk melakukan sesuatu secara nyata apa yang bermanfaat bagi kelompok.

Sangat disayangkan apabila aktivitas lingkungan dari kesadaran lingkungan yang telah terbangun dari viralnya foto orangutan Borneo hanya berakhir sebagai slacktivism.

Seseorang jangan kemudian merasa senang telah melakukan aktivisme lingkungan karena melakukan klik tombol likes, share/repost di media sosial masing-masing, serta memberikan caption dan hashtag saja tidak akan menyelamatkan orangutan Borneo dari ancaman kepunahan.

Saat ini yang dibutuhkan adalah tindakan kolektif yang berdampak nyata, misalnya melakukan advokasi kebijakan untuk reforestasi dan restorasi lahan daripada sekadar slacktivism semata.

https://sains.kompas.com/read/2020/02/19/125518823/refleksi-kesadaran-lingkungan-dari-orangutan-borneo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke