KOMPAS.com - Terkait ditemukannya radiasi nuklir yang tinggi di Perumahan Batan Indah Serpong, pengamat iklim menganggap penanganan limbah radioaktif di Indonesia dilakukan secara serampangan.
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) menyebutkan, radiasi nuklir yang tinggi dan dibatas aman tersebut berasal dari serpihan radioaktif dengan kandungan Caesium 137 (Cs-137).
Dalam keterangan resmi yang dikeluarkan Greenpeace Indonesia, Juru Kampanye Iklim dan Energi, Hindun Mulaika mengatakan penanganan limbah yang serampangan itu, tidak dilakukan dengan semestinya sesuai aturan yang ada dan sangat membahayakan masyarakat.
"Kejadian ini adalah preseden buruk bagi pemerintah dan BATAN yang gagal dalam menjaga keamanan masyarakat dari bahaya limbah radioaktif," kata dia.
Oleh sebab itu, harus dilakukan investigasi yang menyeluruh bagaimana limbah radioaktif tersebut bisa sampai di tengah-tengah perumahan padat penduduk.
"Kalau ini adalah perilaku yang dengan sengaja membuang, bisa jadi oknum yang melakukannya tidak paham bahwa Cs-137 sangat berbahaya, bahkan sampai disebut zat berbahaya yang mematikan," ujarnya.
Dalam investigasi tersebut juga, harus diteliti sejauh apa cemaran radiasi tersebut pada tanah dan tanaman yang ada di lokasi.
Untuk diketahui, Cs-137 bersifat mudah teroksidasi dan larut dalam air, dan dalam bentuk serbuk, unsur ini akan juga dengan mudah terhirup oleh masyarakat.
Menurut Hindun, sangat mengerikan apabila serpihan limbah radioaktif tersebut telah berada di sana dalam kurun waktu lama.
Masyarakat sekitar, kemungkinan tidak hanya berlalu lalang, tetapi mereka termasuk ibu-ibu dan anak-anak tanpa menggunakan pelindung, jelas akan terpapar.
Meskipun belum diketahui dari mana asal serpihan limbah radioaktif tersebut, tetapi BATAN yang selama ini mengoperasikan reaktor nuklir, harus melakukan investigasi internal terkait sistem penanganan limbah nuklir yang diterapkan.
Siapkah Indonesia bikin nuklir?
Ditegaskan oleh Hindun, nuklir bukanlah pilihan energi masa depan bagi Indonesia.
"Saat ini tidak ada solusi yang kredibel untuk pembuangan limbah nuklir jangka panjang yang aman," kata dia.
Sementara, Amerika selama ini menempatkan pembuangan limbah nuklirnya di Carlsbad, New Mexico dengan kedalaman 655 meter di bawah permukaan, dan mengajukan Yucca Mountain sebagai tempat penyimpanan berikutnya, tetapi mendapatkan begitu banyak tentangan.
Tidak hanya reaktor nuklir yang harus benar-benar aman dari kesalahan teknis, manusia dan bencana alam. Selain itu, penyimpanan limbah nuklir juga selalu meninggalkan jejak ketakutan sendiri.
Lebih lanjut lagi, ia menyebutkan kejadian ini adalah peringatan keras bagi pemerintah yang saat ini sedang gencar mempromosikan pemanfaatan nuklir di sektor energi.
Melalui Rencana Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, di mana ada kemudahan perizinan ketenaganukliran dapat diberikan langsung oleh Pemerintah Pusat.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah investasi berbahaya dan juga sangat mahal.
Mengacu pada data Lazard 2019, biaya modal pembangunan PLTN adalah yang tertinggi saat ini, di mana secara maksimal dapat menyentuh angka 12.250 dolar atau sekitar 177 juta per kilowatt.
Sedangkan energi terbarukan, baik itu angin dan surya telah mencapai grid parity (harga yang sama dengan pembangkit konvensional pemasok sistem grid) di banyak negara di dunia.
"Sudah seharusnya pemerintah Indonesia mulai berpikir jernih dengan fokus berinvestasi pada energi terbarukan yang lebih aman, murah, bersih, dan bukan PLTU Batubara apalagi PLTN," tuturnya.
https://sains.kompas.com/read/2020/02/17/183200723/belajar-penanganan-radiasi-di-serpong-siapkah-indonesia-bikin-nuklir-