Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perubahan Dramatis Benua Baru Zealandia, Mungkinkah Akibat Cincin Api?

KOMPAS.com - Benua baru Zealandia yang berada di kawasan Australia ini ternyata mengalami perubahan dramatis. Pembentukan cincin api Pasifik dikaitkan dengan penyebab perubahan benua ini.

Zealandia menjadi benua ketujuh di muka Bumi ini. Dalam sebuah penelitian terbaru mengungkap adanya perubahan ketinggian dramatis antara 50 juta dan 35 juta tahun lalu.

Melansir Sci-News, Rabu (12/2/2020), fakta tersebut diperoleh dari hasil analisa baru terhadap sampel yang dikumpulkan selama International Ocean Discovery Program (IODP) Expedition 371 pada 2017 lalu.

Pergolakan ini mungkin karena reaktivasi yang luas dari formasi patahan kuno terkait pembentukan Ring of Fire atau Cincin Api, Pasifik barat.

Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Geology. Benua baru Zealandia memiliki luas daratan sekitar 4,9 juta kilometer persegi dan pernah membentuk sekitar 5 persen dari luas benua super Gondwana.

Benua super kuno ini mencakup Antartika dan Australia, dan sekitar 94 persen dari wilayah Zealandia saat ini tenggelam.

Sejak tahun 1970-an, kearifan ilmiah yang berlaku menunjukkan pemisahan Zealandia dari benua super Gondwana pada 85 juta tahun yang lalu.

"Setelag ledakan tektonik, model ini membuat Zealandia tidak melakukan (aktivitas) apapun selain mendinginkan dan menghilang," kata Dr Rupert Sutherland, ahli geofisika di Victoria University of Wellington.

Akan tetapi, fosil-fosil dari lubang bor yang dikumpulkan dalam Ekspedisi IODP 371 menunjukkan selama Cenozoic awal, bagian dari Zealandia utara mengalami kenaikan 1-2 kilometer.

Sementara bagian lainnya menurun dengan jumlah yang sama, sebelum seluruh benua ini tenggelam satu kilometer lagi di bawah laut.

Waktu transformasi topografi ini bersamaan dengan reorganisasi global lempeng tektonik di benua baru ini, yang dibuktikan dengan lekukan dalam rantai gunung api bawah laut Emperor-Hawaii.

Selain itu, adanya reorientasi berbagai pegunungan laut tengah dan permulaan subduksi, serta vulkanisme dan kegempaan terkait dalam suatu sabuk yang masih melingkar di sebagian besar Pasifik Barat.

"Meskipun subduksi mendorong siklus tektonik lempeng Bumi, para ilmuwan belum memahami bagaimana itu dimulai," jelas Sutherland.

Sebab, kata dia, pada saat itu sebelum reorganisasi lempeng tektonik global, para ilmuwan perlu menemukan penjelasan tentang bagaimana subduksi dimulai di area yang luas dalam waktu singkat.

Para penulis penelitian ini mengusulkan mekanisme baru, terkait peristiwa pecahnya subduksi yang menurut mereka mirip gempa bumi besar yang sangat lambat.

Mereka percaya akibat peristiwa itu, membangkitkan patahan subduksi kuno yang tidak aktif selama jutaan tahun.

"Kami tidak tahu di mana atau mengapa, tetapi sesuatu terjadi yang digerakkan secara lokal, dan ketika patahan mulai tergelincir, seperti dalam gempa bumi, gerakan itu dengan cepat menyebar ke samping yang berdekatan dengan sistem patahan dan kemudian di sekitar Pasifik barat," papar Sutherland.

Kendati demikian, tidak seperti gempa bumi, peristiwa pecahnya subduksi ini mungkin membutuhkan lebih dari satu juta tahun untuk terungkap.

Pada akhirnya, imbuh Sutherland, catatan sedimen Zealandia seharusnya dapat membantu menentukan bagaimana dan mengapa peristiwa ini terjadi.

"Selain itu, apa konsekuensinya bagi hewan, tumbuhan dan iklim global," sambung dia.

Proses ini tidak memiliki analog modern dan karena peristiwa subduksi pecah terkait dengan waktu perubahan tektonik lempeng global yang cepat.

"Ahli geologi umumnya berasumsi bahwa memahami masa kini adalah kunci untuk memahami masa lalu. Tapi setidaknya dalam hal (perubahan benua baru Zealandia) ini mungkin tidak berlaku," jelas Sutherland.

https://sains.kompas.com/read/2020/02/12/193600723/perubahan-dramatis-benua-baru-zealandia-mungkinkah-akibat-cincin-api-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke