KOMPAS.com – Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama di Indonesia ditemukan pada 1968, tepatnya di Jakarta dan Surabaya. Satu dekade setelahnya, prevalensi kematian akibat DBD sangat tinggi karena minimnya pengetahuan serta fasilitas terkait penyakit tersebut.
Hal itu dikemukakan oleh Dr Tedjo Sasmono, Kepala Unit Penelitian Dengue di Eijkman Institute of Molecular Biology.
“Dulu kasusnya masih sedikit, namun sampai sekarang kasusnya sangat meningkat. Pada tahun 1968, prevalensi pasien yang terkena DBD masih 0,05 per 100.000 jiwa. Namun pada 2016, meningkat sangat pesat menjadi 86 per 100.000 jiwa,” paparnya Kepada Kompas.com, Kamis (6/2/2020).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus dari nyamuk Aedes aegepti. Pada beberapa kasus, virus dengue juga disebarkan oleh nyamuk Ae. Albopictus yang merupakan penyebar virus cikungunya dan Zika.
“Dari hasil penelitian, Indonesia merupakan negara kedua dengan penderita DBD terbanyak di dunia setelah Brasil,” tambah Tedjo.
Sampai saat ini, sekitar 3,9 miliar orang di 128 negara di dunia berisiko terinfeksi virus dengue. Diperkirakan, hampir 390 juta kasus infeksi DBD terjadi setiap tahun secara global.
Mengapa kasusnya selalu berulang?
Lebih dari 50 tahun pasca Indonesia terjangkit virus dengue, kasus DBD belum juga bisa diatasi. Bahkan, ada masa-masa di mana terjadinya outbreak DBD yang menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB).
“Secara nasional, KLB dilihat terjadi lima tahun sekali. Namun dari data Kementerian Kesehatan, kami bisa melihat puncak dari KLB biasanya terjadi selang enam sampai delapan tahun,” papar Tedjo.
Namun, lanjutnya, kasus DBD di Indonesia tidak bisa digeneralisasi. Tiap daerah memiliki epidemi yang berbeda, dengan karakteristik masing-masing.
“Indonesia bagian barat, tengah, dan timur, pada tahun yang sama memiliki karakteristik epidemi demam berdarah yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh jenis virus, kekebalan komunitas, juga vektor nyamuk,” ungkap Tedjo.
Tedjo menuturkan, penyakit DBD tidak sama seperti malaria, di mana virus pada satu daerah bisa dieliminasi. Hal ini dikarenakan penyebab penyebaran DBD terdiri dari banyak faktor.
“Malaria sudah ada obatnya, sementara dengue belum (ada obatnya). Dengue selalu ada di Indonesia dan selalu ada tiap tahun. Selalu berulang,” tutur Tedjo.
Faktor kekebalan populasi adalah salah satu penyebab kasus dengue terus berulang. Tedjo menyebutkan, ketika 50 persen populasi kebal terhadap dengue (karena telah terjangkit dengue sebelumnya), kemungkinan untuk terjadi outbreak dan KLB menjadi rendah.
“Namun ketika kekebalan populasinya rendah, besar kemungkinan satu atau dua tahun setelahnya akan terjadi outbreak. Misal tahun 2014 di Lampung, tercatat kekebalan populasinya rendah sehingga tahun berikutnya terjadi outbreak,” paparnya.
Usai terjadi outbreak, kekebalan populasi akan meningkat. Kemungkinan terjadinya outbreak akan semakin minim di masa depan. Namun, ada satu faktor yang menjadi “pengulang” terjadinya DBD.
“Jangan lupa di setiap daerah pasti ada bayi yang baru lahir. Populasi yang naif, kami menyebutnya. Saat ada populasi naif dan rentan seperti ini, virus dengue masuk, maka akan terkena lagi. Itulah mengapa DBD terus-menerus berulang di Indonesia,” jelas Tedjo.
Dipengaruhi oleh banyak faktor
Angka kejadian DBD di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor. Tedjo menyebutkan, ada beberapa faktor yang menentukan jumlah kasus hingga angka kematian akibat DBD.
“Mengapa demam berdarah di Indonesia sulit sekali dibasmi, karena banyak sekali pengaruhnya. Mulai dari iklim, vektor nyamuk dan populasinya, kekebalan komunitasnya. Maka dari itu pencegahan kasus DBD harus dilakukan multi-sektor,” paparnya.
Pada lingkup rumah tangga, hal paling sederhana yang bisa dilakukan adalah 3M Plus (Menguras, Menutup, Menyingkirkan) plus cara lain untuk mencegah DBD seperti menaburkan bubuk abate dan menaruh ikan di kolam.
https://sains.kompas.com/read/2020/02/12/190000723/sudah-50-tahun-mengapa-dbd-di-indonesia-sulit-diatasi-