Oleh Tom Solomon
KEPUTUSAN Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk tidak menyatakan wabah coronavirus baru (2019-nCoV) di China sebagai keadaan darurat kesehatan global tentu mengejutkan banyak orang.
Jumlah kasus dan kematian yang telah dilaporkan meningkat dua kali lipat setiap beberapa hari dengan pasiennya berdatangan dari negara-negara Asia, serta Timur Tengah, Eropa, Australia, hingga Amerika Serikat.
Anda mungkin bertanya-tanya bagaimana hal-hal buruk harus terjadi sebelum hal itu dinyatakan sebagai keadaan darurat kesehatan publik secara global. Namun, menurut Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, pernyataan seperti itu bukanlah perkara mudah.
Konsep WHO yang menyatakan keadaan darurat kesehatan publik global pertama kali muncul setelah wabah coronavirus SARS tahun 2003. Seperti halnya wabah saat ini, penyakit SARS bermula dari pasar hewan hidup yang memungkinkan terjadinya penyebaran virus antarspesies dari kotoran hewan yang terinfeksi ke manusia.
Tapi tidak seperti situasi saat ini, dulu wabah SARS tumbuh selama berbulan-bulan hingga akhirnya pihak berwenang China baru mengakui bahwa mereka memiliki masalah. Ketika wabah SARS dapat dikendalikan, telah ada 8.000 kasus dan 700 kematian di 37 negara berbeda.
WHO memutuskan bahwa mendeklarasikan kondisi darurat, yang diperkenalkan sebagai bagian dari Regulasi Kesehatan Internasional pada 2005, akan membantu mengelola situasi-situasi seperti ini.
Sebelumnya, dengan payung hukum yang telah berusia 150 tahun, kolera, wabah, dan demam kuning dikendalikan dengan karantina dan embargo di perbatasan negara. Sedangkan, kerangka hukum tahun 2005 berfokus pada penanggulangan wabah pada sumbernya yang ditekankan pada kesiapan menghadapi wabah ini.
Hukum ini mengharuskan negara untuk mempertahankan “kapasitas inti” yang diperlukan seperti kemampuan dalam mendiagnosis infeksi dan mengisolasi pasien yang terinfeksi.
Bukan hanya mampu melaporkan penyakit tertentu yang diketahui, sebuah negara harus mampu melaporkan pola kesehatan masyarakat yang tidak biasa, misalnya peningkatan tak terduga pada pasien yang memiliki gejala pernapasan parah.
Kondisi darurat kesehatan global dideklarasikan ketika ada “kejadian luar biasa … yang menimbulkan risiko kesehatan masyarakat ke negara-negara lain melalui penyebaran penyakit antarnegara.”
Deklarasi semacam ini meningkatkan dukungan internasional, juga meningkatkan upaya diplomatik dan keamanan serta membuat lebih banyak dana yang tersedia untuk mendukung tim respons di lapangan.
Salah satu yang perlu jadi catatan bahwa dengan mendeklarasikan keadaan darurat kesehatan publik global dapat mempengaruhi perdagangan dan pariwisata yang berimplikasi bahwa negara yang bersangkutan tidak dapat mengendalikan penyakit tersebut sendiri.
Kendati demikian, mengingat respons China yang mengkarantina 41 juta penduduknya di 13 kota, hal-hal ini tidak menjadi penghalang.
Sampai saat ini, telah ada 5 keadaan darurat kesehatan publik yang dideklarasikan oleh WHO, yakni wabah “flu babi” H1N1 pada 2009, munculnya kembali virus polio pada 2014, wabah Ebola Afrika Barat 2014, Zika Afrika 2015 hingga 2016, serta, setelah melalui banyak pertimbangan, wabah Ebola di Kivu, Republik Demokratik Kongo tahun 2018 hingga 2019.
Sebagaimana ditekankan oleh Tedros, bahkan tanpa deklarasi kondisi darurat, sudah ada respons kesehatan yang terkoordinasi antarnegara yang menangani wabah coronavirus saat ini.
Dan dalam beberapa hal, ini tampak seperti model respons kesehatan publik dengan melakukan aksi bersama secara langsung. China telah begitu cepat dalam melaporkan wabah di Wuhan dan membagikan semua informasi yang mereka punya.
Rilis data awal telah memungkinkan peneliti untuk memprediksi jumlah total yang terinfeksi yang diperkirakan sudah mencapai ribuan orang.
Para ilmuwan di China secara cepat mengurutkan virus baru untuk menentukan susunan genetiknya. Studi yang akan mereka rilis memungkinkan para ilmuwan lain di berbagai belahan dunia untuk mengembangkan tes diagnostik mereka sendiri.
Langkah karantina yang diambil oleh pemerintah China menggarisbawahi tekad mereka untuk melakukan apa pun yang mereka bisa untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini. Meski langkah mengisolasi begitu banyak orang dapat membantu mengendalikan epidemi ini juga diragukan.
Di Inggris dan beberapa negara lainnya, penumpang pesawat penerbangan yang datang langsung dari Wuhan menjalani beberapa pemeriksaan kesehatan dan diberi informasi mengenai apa yang perlu mereka lakukan jika merasa tidak sehat.
Sekarang, penerbangan lainnya telah dihentikan, namun langkah-langkah ini perlu diperluas dengan menghentikan pula penerbangan dari wilayah lain di China.
Pertanyaan yang tidak terjawab
Meski begitu, beberapa pertanyaan masih tidak terjawab, beberapa di antaranya akan menjadi kunci bagi pertimbangan lebih lanjut WHO mengenai deklarasi kondisi darurat dalam beberapa pekan ke depan.
Sudah jelas bahwa penularan coronavirus Wuhan dari manusia ke manusia dapat terjadi karena adanya infeksi yang menyebar dari pasien ke petugas kesehatan dan kontak manusia dekat lainnya.
Yang belum jelas adalah bagaimana virus ini menular. Berapa banyak penularan yang sedang terjadi dan akan ada berapa banyak pasien lagi dari kontak pasien kedua dengan ketiga, ketiga dengan keempat, dan seterusnya? Dan dapatkah seseorang menyebarkan virus ini sebelum mereka memiliki gejalanya?
Para ilmuwan menggunakan istilah Ro untuk mendeskripsikan seberapa mudah virus menyebar dan semakin tinggi penyebarannya, semakin besar pula kemungkinan penyebaran wabah lebih cepat terjadi. Tingkat keparahan penyakit juga penting.
Pada 26 Januari, 56 (2,8%) dari 2.014 kasus yang dikonfirmasi telah meninggal. Sedangkan tingkat kematian coronavirus SARS hampir 10%. Jika coronavirus baru ini menyebar secara cepat namun memiliki tingkat kasus kematian yang lebih rendah, maka tingkat kekhawatiran akan lebih sedikit.
Ilmuwan China sedang melakukan tes untuk menentukan hewan apa saja di pasar tradisional di Wuhan yang menjual hewan hidup dan mati termasuk hewan liar untuk konsumsi, yang mungkin menjadi sumber virus. Ada juga pertanyaan mengenai aturan mana yang akan dipatuhi.
Setelah wabah tahun 2003, aturan sementara diberlakukan untuk menghentikan penjualan hewan eksotis, seperti musang, yang menularkan coronavirus SARS. Kendati demikian, pasar tradisional yang biasanya ramai menjadi tempat orang-orang menjual unggas hidup dan hewan lainnya tetap populer di kalangan pembeli di Asia.
Sekitar 600 orang meninggal di Inggris tiap tahunnya karena flu saja, dan sekitar ratusan ribu kematian lainnya dari seluruh penjuru dunia.
Jadi, sementara virus yang baru akan selalu muncul dan menimbulkan bahaya, respons terkini dari pejabat kesehatan masyarakat dan ilmuwan di China dan di seluruh dunia, yang menggabungkan segala yang mereka punya untuk mempelajari virus ini sejak wabah SARS, harusnya dapat mengamankan publik untuk saat ini, terlepas apakah WHO akan mendeklarasikan kejadian ini sebagai keadaan darurat kesehatan global atau tidak.
Tom Solomon
Director of the National Institute for Health Research (NIHR) Health Protection Research Unit in Emerging and Zoonotic Infections, and Professor of Neurology, Institute of Infection and Global Health, University of Liverpool
Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Wabah coronavirus dari Cina: penjelasan mengapa WHO belum beri status darurat kesehatan global". Isi di luar tanggung jawab Kompas.com.
https://sains.kompas.com/read/2020/01/29/190100023/wabah-virus-corona-wuhan-mengapa-who-belum-beri-status-darurat-