KOMPAS.com - Penelitian terhadap sel lemak tikus, menunjukkan sensitivitas sel tersebut terhadap paparan cahaya dan dampaknya pada kesehatan tubuh.
Melansir Sci News, Rabu (29/1/2020), paparan cahaya mengatur dua jenis sel lemak (adipocytes) bekerja bersama memproduksi bahan mentah yang digunakan seluruh sel untuk energi.
"Tubuh manusia berevolusi selama bertahun-tahun di bawah sinar matahari, termasuk mengembangkan gen penginderaan cahaya yang disebut opsins," kata Dr Richard Lang, ahli biologi perkembangan di University of Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat.
Akan tetapi, kata Dr. Lang, saat ini setiap hari manusia hidup dengan begitu banyak cahaya buatan di sekitarnya.
Cahaya tersebut tidak menyediakan spektrum cahaya yang penuh seperti yang dipancarkan Matahari.
"Studi ini mewakili perubahan signifikan dalam cara kita (manusia) melihat efek cahaya terhadap tubuh," sambung Dr. Lang.
Dalam penelitian tersebut, Dr. Lang dan rekannya mempelajari bagaimana tikus merespons, ketika terkena suhu dingin, sekitar 4,2 derajat Celcius.
Seperti halnya manusia, tikus menggunakan respons menggigil dan pembakaran lemak internal untuk menghangatkan diri.
Analisis mendalam mengungkapkan, adanya proses pemanasan internal terganggu dengan tidak adanya gen encephalopsin (OPN3) dan paparan khusus untuk panjang gelombang cahaya biru 480 nm.
Panjang gelombang tersebut adalah bagian alami dari sinar matahari, tetapi hanya terjadi pada level rendah disebagian cahata buatan.
Ketika paparan cahaya terjadi, OPN3 mendorong sel-sel lemak putih untuk melepaskan asam lemak ke dalam aliran darah.
Berbagai jenis sel dapat menggunakan asam lemak ini sebagai energi untuk memicu aktivitas mereka.
Akan tetapi pada lemak coklat, benar-benar membakar asam lemak dalam proses oksidasi untuk menghasilkan panas yang akan menghangatkan tubuh tikus yang dingin.
Ketika tikus dibiakkan di tempat yang kekurangan gen OPN3, mereka gagal untuk menghangatkan diri. Tidak seperti pada tikus lain yang ditempatkan di kondisi dingin.
Data ini mendorong peneliti untuk menyimpulkan, sinar matahari diperlukan untuk metabolisme energi normal, setidaknya pada tikus.
Sementara itu, peneliti menduga, jalur metabolik manusia bergantung pada cahaya serupa.
"Jika jalur adiposit cahaya OPN3 ada pada manusia, maka ada potensi implikasi luas bagi kesehatan manusia," kata para ahli.
Sebab, gaya hidup modern telah membuat manusia terkena spektrum pencahayaan yang tidak alami yang turut memengaruhi kesehatan.
Di antaranya akibat paparan cahaya di malam hari, kerja shift dan jet lag. Semua ini, kata peneliti, dapat membuat gangguan metabolisme.
Dr. Lang mengungkapkan berdasarkan temuan itu, adanya kemungkinan stimulasi yang tidak memadai dari jalur adiposit cahaya OPN3.
"Ini bagian dari penjelasan untuk prevalensi deregulasi metabolik di negara-negara industri di mana pencahayaan yang tidak alami telah menjadi norma," jelas dia.
Namun, suatu hari, secara teori, terapi cahaya juga bisa menjadi metode untuk mencegah berkembangnya sindrom metabolik menjadi diabetes.
"Mengganti lampu di dalam ruangan dengan sistem pencahayaan spektrum penuh bermanfaat baik untuk dapat meningkatkan kesehatan masyarakat," kata Dr. Lang.
Kendati demikian, studi lebih lanjut dari penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Cell Reports ini, sangat diperlukan untuk menjelaskan nilai terapi potensial dari terapi cahaya terhadap kesehatan tubuh.
https://sains.kompas.com/read/2020/01/29/183200623/sel-lemak-tikus-ungkap-efek-cahaya-pada-kesehatan-tubuh-ahli-jelaskan