Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perdagangan Bayi di Palembang, Begini Hasil Analisis Psikolog

KOMPAS.com - Kasus perdagangan bayi kembali terjadi. Kapolresta Palembang Kombes Pol Anom Setiyadji mengatakan, Sri Ningsih adalah otak utama dalam perdagangan bayi tersebut.

Diberitakan sebelumnya, Sri diduga mencari wanita hamil yang tak mau mengasuh anak. Setelah lahir, bayi kemudian dijual.

"Pelaku mencari para korban yang hendak menjual bayi dengan perantara. Begitu tahu ibu bayi itu mau, mereka langsung panjar. Bayi yang perempuan dijual Rp 25 juta dan laki-laki Rp 15 juta," katanya saat gelar perkara di Mapolresta Palembang, Senin (20/1/2020).

Kasus perdagangan bayi memang bukan kali ini saja terjadi.

Namun yang menjadi pertanyaan, kapan ikatan ibu dan anak terjadi hingga ibu sampai hati menjual darah dagingnya sendiri?

Menjawab pertanyaan ini, Kompas.com menghubungi psikolog anak dari Pion Clinician, Astrid W.E.N.

Astrid menjelaskan, ikatan antara ibu dan anak sebenarnya sudah tumbuh sejak dalam kandungan.

Ketika orangtua menyanyikan lagu untuk bayi di dalam kandungan, sebenarnya sudah terjalin ikatan antara anak dan orangtua.

Selain itu, makanan yang dikonsumsi ibu kemudian disalurkan ke janin juga membentuk ikatan.

"Hari-hari pertama anak lahir, pendengarannya sudah berfungsi. Jadi anak pun sudah familiar terhadap suara ibu dan suara-suara yang ada di dekatnya, meski belum bisa melihat," kata Astrid dihubungi Selasa (21/1/2020).

Kemudian, untuk kasus perdagangan bayi sendiri, Astrid menduga hal ini dilakukan oleh ibu yang tidak memiliki pilihan lain. Mereka berpikir tidak ada pilihan lain selain menjual bayi.

Pilihan tersebut biasanya diambil ketika dalam kondisi putus asa dan menganggap tidak ada pilihan lain selain menjual bayi.

Banyak faktor yang memicu seseorang menjual bayinya. Salah satu yang paling sering ditemui adalah faktor kemiskinan dan membutuhkan uang.

Ketika ibu yang terdesak kebutuhan ekonomi mengandung, ditambah tidak memiliki pendukung seperti suami atau keluarga, ibu tersebut memikirkan harus berbuat apa untuk mengurus dan membesarkan bayi tersebut.

"Ini nanti bayinya diurus dan dibesarkan dengan apa. Mereka enggak punya support, mungkin juga apakah pasangan ada atau enggak. Jadi sebagian besar kasus (perdagangan bayi) dari kehamilan yang tidak diharapkan," jelas Astrid.

"Mungkin ibunya mau menjaga bayi (setelah lahir). Tapi kalau dia menjaga, (ada pikiran) itu lebih buruk dibanding ngasih ke orang lain," imbuhnya.

Astrid menyebut, pilihan menjual bayi bukanlah keinginan dari ibu sendiri. Jika ibu mampu merawat bayi sendiri, dia pasti akan merawatnya.

"Ketika ibu menjual bayinya, kita harus lihat sih, kebanyakan ibu pasti merasa kehilangan. Karena kan dia sudah 9 bulan mengandung dan sebenarnya ada ikatan yang terjalin dengan bayi. Mau tidak mau, sudah ada ikatan," ujar Astrid.

Adakah penyesalan?

Dia mengatakan, para ibu yang pernah menjual anaknya, sebenarnya mereka memerlukan bantuan secara emosional, psikologis, dan finansial.

"Ketika ada ibu yang menjual bayinya, berarti ibu ini sangat membutuhkan bantuan emosional, psikologis, juga finansial untuk memulihkan kondisi para ibu," ungkapnya.

Menurut Astrid, ketika di masa depan finansial ibu membaik, kondisi psikologis dan emosi lebih kuat, ibu tersebut sangat mungkin menyesal akan apa yang dilakukannya di masa lalu.

Dalam kasus seperti ini, rasa menyesal baru muncul ketika ibu sudah dalam kondisi yang lebih stabil.

Pasalnya, keputusan yang diambil dalam kondisi tidak baik, tidak akan menimbulkan penyesalan.

"Mereka baru sadar ketika berada di kondisi yang lebih baik. Saat kondisi membaik, mereka baru bilang, 'aku itu punya anak, anak ini aku kasih," ujar Astrid.

https://sains.kompas.com/read/2020/01/22/180500823/perdagangan-bayi-di-palembang-begini-hasil-analisis-psikolog

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke