KOMPAS.com - Perubahan iklim tidak hanya memberikan dampak besar terhadap lingkungan, tetapi juga pada artefak Afghanistan.
Mengutip DW Made for Minds, Sabtu (11/1/2020), benda-benda bersejarah yang dimiliki Afghanistan tidak hanya mendapat ancaman dari ledakan dinamit kaum jihadis dan penjarahan.
Ancaman serius lain juga datang dari perubahan iklim, yang akan menjadi ancaman baru di masa yang akan datang.
Terletak di jantung pegunungan Hindu Kush, di tebing-tebing Lembah Bamiyan terdapat gua yang berisi kuil, biara dan lukisan Buddha.
Lembah ini merupakan rumah bagi benteng-benteng di masa Jalur Sutra, Shahr-e Gholghola dan Shahr-e Zohak di timur.
Para ahli mengatakan musim kering yang diikuti hujan lebat dan salju musim semi yang lebih lebat dari biasanya, menyebabkan karya seni dan arsitektur bersejarah di lokasi tersebut berada dalam kehancuran.
Para pejabat Afghanistan melalui laporannya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2016, telah memperingatkan kondisi ini.
Struktur arkeologi di wilayah itu mungkin akan runtuh dan menderita akibat erosi parah, sebagai akibat dari kondisi perubahan iklim.
"Proses erosi jauh lebih cepat, hujan lebih dahsyat dan angin lebih kuat telah berdampak buruk pada situs ini," ujar Direktur Delegasi Arkeologi Prancis Philippe Marquis di Afghanistan, kepada AFP.
Marquis mengatakan situs bersejarah Afghanistan ini sangat rapuh secara geologis. Terutama karena tutupan vegetasinya telah sangat berkurang akibat deforestasi.
Perubahan iklim telah lama menjadi kenyataan yang harus dihadapi warga.
"Cuaca berubah, sekarang musim panas lebih hangat dan musim dingin lebih dingin," kata Baqe Ghulami dari distrik Saikhand di Bamiyan Utara.
Ancaman perusakan oleh manusia
Tak hanya perubahan iklim, patung Buddha berusia berabad-abad yang dimiliki situs ini dihancurkan Taliban pada 2001 silam.
Sebelum Islam masuk ke wilayah tersebut, di wilayah ini sudah kaya dengan berbagai artefak.
Meskipun berasal dari agama lain, penduduk yang berbicara dengan AFP dengan bangga menceritakan bagaimana masyarakat berusaha mempertahankan sejarah di daerah itu sebagai milik mereka.
Dari goa-goa yang kosong, pengunjung dapat melihat Pusat Budaya, yang mulai dibangun pada tahun 2015 tetapi belum selesai.
Pusat Budaya ini dibangun dengan tujuan mengedukasi pengunjung tentang kebutuhan mendesak untuk melestarikan warisan daerah tersebut.
"Tidak ada manfaatnya jika orang hanya melihat (situs) ini tanpa mendapat informasi," kata Direktur Departemen Arkeologi di Universitas Bamiyan Ali Reza Mushfiq.
Perubahan iklim bukan satu-satunya yang menjadi ancaman serius bagi situs bersejarah ini.
Mushfiq mengatakan pengaruh manusia di lokasi juga turut andil, termasuk para penjarah yang merajalela di Afghanistan.
"Kita harus memulai pelatihan bagi masyarakat setempat untuk mengajari mereka agar tidak menghancurkan situs itu," ujar Mushfiq.
Dia juga mengatakan beberapa warga terus menyimpan makanan dan memelihara ternak di situs bersejarah. Bahkan tidak sedikit warga yang pindah ke goa-goa tak jauh dari gua Buddha.
Marquis menambahkan ancaman terbesar tidak datang dari penghuni lokal yang melanggar situs atau dari pencurian.
"Tidak separah (dampak) kehancuran yang disebabkan oleh erosi," kata Marquis.
Setidaknya, membutuhkan biaya miliaran dolar AS untuk mengurangi dampak erosi dan dampak perubahan iklim di Afghanistan.
Akan tetapi, bagi negara yang dilanda perang memiliki sedikit kemampuan untuk menanggung beban tersebut.
Menurut Global Adaptation Initiative yang diprakarsai Universitas Notre Dame di Amerika Serikat, menempatkan Afghanistan di peringkat 173 dari 181 negara yang rentan terhadap perubahan iklim dan kemampuannya beradaptasi.
https://sains.kompas.com/read/2020/01/11/130300723/perubahan-iklim-ancam-situs-buddha-bamiyan-di-afghanistan-kenapa