Ujaran-ujaran di Twitter di antaranya, "Ngapain sih rumahnya pakai difoto segala", "Headline berita lokal bikin geleng-geleng semua, miris dengan jurnalistik Indonesia".
Tidak salah sih komentarnya, tetapi sayangnya cuma sampai di situ saja. Tidak ada yang bertanya mengapa itu terjadi. Kalau pun ada, komentarnya adalah "wartawan Indonesia enggak punya pengetahuan".
Walaupun sangat mungkin ada wartawan yang tak berpengetahuan, ada satu faktor lain - dan mungkin jarang mau dilihat karena orang menganggap media adalah public service dan informasi akurat itu gratis - yang berpengaruh besar, yaitu model bisnis media.
Ada empat model bisnis umum media. Pertama, yang mengandalkan donor, misalnya Kantor Berita Antara dari pemerintah, dan The Conversation Indonesia dari swasta.
Kedua, yang mengandalkan iklan, misalnya Kompas.com. Ketiga, yang mengandalkan pembaca lewat subscription maupun donasi, misalnya The Guardian.
Keempat, ialah gabungan dua atau lebih model bisnis sebelumnya, misalnya harian Kompas yang sumber dananya dari iklan maupun langganan.
Dulu saat koran masih dipajang di dinding kelurahan, media dapat penghasilan besar dari iklan. Saat ini meski bisnis digital naik, kue iklan di media massa online di Indonesia hanya 17 persen.
Sebagian besar lari ke raksasa teknologi macam Google dan Facebook. Model bisnis yang semula mapan pun goyah dan pelaku media sekarang pusing, "Bagaimana harus mempertahankan media dan independensinya?"
Media Inggris, Indonesia, dan inovasinya
Mari kita lihat cara BBC, The Guardian, dan Manchester Evening News dalam berbisnis. Tiga media ini merupakan yang terbaik saat melaporkan kasus Reynhard.
Abaikan media seperti Daily Mail dan The Sun, sebab walaupun di kolase foto yang beredar di media sosial mereka tampak bagus, sejatinya dalam berita lanjutan tak beda jauh dengan media di Indonesia.
Sebagian besar dana BBC bersumber dari lisensi TV atau semacam iuran TV warga Inggris yang diatur pemerintah dan disetujui parlemen.
Besarannya lisensi TV sekitar Rp 2,7 juta per tahun per KK kalau TV-nya berwarna dan Rp 900 ribu jika hitam putih, bisa naik sesuai inflasi.
Siapa pun yang punya TV tetapi mangkir dari iuran bisa diperkarakan. Tahun 2018, dana yang terkumpul dari iuran ini adalah Rp 66 triliun.
Meski kini masih menjanjikan, model ini pun terancam karena anak-anak muda Inggris kini meninggalkan televisi. Uang mereka lari ke Netflix, Amazon Video, dan lainnya.
Bahkan baru-baru ini, perdana menteri Inggris, Boris Johnson, mempertanyakan apakah BBC memang harus terus minta iuran?
BBC sendiri juga berinovasi lewat donasi dan unit bisnis lain seperti BBC Media Action yang per 2018 mendapat Rp 637 miliar dari ragam donor, termasuk donasi individu.
The Guardian yang hampir berusia 200 tahun didanai oleh The Scott Trust. Media ini lama rugi, melakukan efisiensi, menjual media anakannya.
Memasuki era digital, tantangan bertambah. Tahun 2014, The Guardian memperkenalkan model membership di mana anggota bisa berdonasi untuk mendukung liputan-liputan mendalam yang dilakukannya.
April 2019, The Guardian punya 655.000 member untuk format cetak dan digital serta 300.000 orang yang berkontribusi sekali-sekali.
Dari merugi 57 juta tiga tahun sebelumnya, The Guardian pada 2019 mencatat keuntungan sebesar 800.000 pounds dan menyatakan break even point dengan model bisnis hasil inovasinya. Liputannya berkualitas, Panama Paper yang ramai tahun 2016 lalu salah satunya.
Manchester Evening News (MEN) lama menjadi grup Guardian hingga 2010 dijual kepada Trinity Mirror (kini Reach).
Dengan penduduk Manchester Raya sekitar 2,8 juta jiwa, menurut data Audit Bureau of Circulation (ABC), media yang eksis dalam bentuk cetak dan online itu punya subscriber 3.500. Sebanyak 15.000-an eksemplar dibagikan gratis di kota Manchester dan 14.000-an dijual ke wilayah pinggiran.
Secara konten, MEN punya pendekatan unik, salah satunya memanfaatkan kompetisi antara Manchester United dan Manchester City. Segala update soal dua klub bola itu ada.
Berkat perusahaan di belakangnya yang cukup sehat dan subscriber, MEN ini bisa menjadi media regional terbesar di Inggris sekaligus melakukan liputan berkualitas seperti bom Manchester Arena pada 2017 dan kasus Reynhard.
Di Indonesia, kita kenal sejumlah media berpengaruh. Sebagian besar media online dan televisi mengandalkan iklan sebagai sumber pendapatan utama. Akses beritanya gratis.
Media cetak lama seperti harian Kompas, Tempo, Jakarta Post berusaha beradaptasi ke digital dengan model subscription. Media lain yang gratis dan iklannya sedikit atau tidak ada biasanya memiliki donor.
Model bisnis dan kualitas konten
Dari uraian di atas, kelihatan bahwa media-media Inggris yang mampu melakukan liputan berkualitas didukung oleh bisnis yang tangguh. Dan, ketangguhan bisnis itu didukung oleh pembaca atau warga Inggris.
Memang, ada saja kritik orang soal lisensi TV. Jumlah orang yang subscribe ke media juga masih sedikit. Tapi jumlahnya kini bisa dibilang mencukupi untuk mendukung operasional.
Di Indonesia sebaliknya. Setelah era digital, orang berpikir bahwa kebebasan informasi sama dengan informasi akurat, terpercaya, dan berimbang yang gratis.
Maka dari itu, model subscription sampai sekarang belum menjanjikan bagi media. Meski harus berebut kue iklan yang sedikit, mengejar iklan lebih memungkinkan daripada meminta orang membayar berita.
Masalahnya, untuk mendapat iklan, media harus dipandang cukup berdampak. Salah satu indikator utamanya adalah jumlah pembaca alias pageview.
Jadilah media berlomba-lomba mengejarnya. Judul clickbait, konten remeh temeh, dan berita yang menguliti menjadi salah satu wujudnya. Ironisnya, orang tetap klik dan baca. Walaupun akhirnya berujung menghina, klik dari pembaca tetap terhitung.
Di Inggris, media yang mengejar iklan adalah Daily Mail. Sejak ekspansi ke digital pada 2010 lewat Mail Online, pimpinan media ini sudah bilang: mendingan kejar kuantitas pembaca dan iklan besar daripada menarget subscriber dan pasar niche.
Meski diblok Wikipedia karena ketidakakuratannya, media ini menorehkan sejarah pada 2018 karena revenue iklan digitalnya melampaui cetak, sebesar Rp 2,2 triliun, dengan total waktu pembaca di situsnya 145 menit.
BBC, The Guardian, dan MEN sebaliknya, fokus mengejar kualitas berita. Dalam kasus Reynhard, dua media itu mampu mendudukkan kasus sebagai kriminal perkosaan.
Tidak ada label orientasi seksual dan negara asal. Berita lanjutan kasus tersebut juga fokus pada hal-hal penting, misalnya banyaknya kasus perkosaan pada laki-laki dan mengajak korban perkosaan untuk melaporkan diri sehingga bisa mendapat dukungan psikologis.
Mungkinkah membuat konten yang lebih berkualitas walaupun mengejar iklan? Pembuatan konten berkualitas mungkin.
Faktanya, itu dilakukan. Detik punya DetikX dan Kompas.com punya Visual Interaktif Kompas.com (VIK) dan JEO, yang semuanya berisi artikel longform.
Untuk JEO, meski orang bisa bertahan lebih dari 30 menit untuk membaca, tidak banyak jumlah pembacanya. Demikian juga produk Kompas.com lainnya, yaitu VIK.
Untuk mengejar jumlah pageview, harus ada konten yang menarik bagi pembaca. Dalam kasus Reynhard, yang menarik adalah latar belakangnya.
Terbukti, banyak orang di medial sosial bertanya dan mem-posting soal di mana dia kuliah saat S-1. Sampai ada yang buka buku alumni dan post fotonya. Ditambah dengan faktor mudahnya mencari latar belakang, maka kita melihatlah berita-berita menguliti.
Mungkin ada yang bertanya, "Apa tidak ada hal lain yang menarik?" Jawabannya ada.
Misalnya bahwa pria pun bisa menjadi korban pemerkosaan, entah pelakunya pria juga atau wanita. Tapi ini butuh waktu lebih banyak. Tidak setiap wartawan punya privilege waktu karena di tengah bisnis yang belum stabil, tuntutan untuk bekerja cepat itu besar.
Wartawan MEN, Beth Abbit, pun mengakui, keberhasilannya membuat laporan berkualitas salah satunya berkat dukungan pimpinannya.
"Saya harus menyebut bahwa bos saya di @MENnewsdesk memberi waktu saya meliput kasus Reynhard Sinaga dengan benar, memungkinkan saya duduk di pengadilan tiap hari meskipun harus menunggu lebih dari setahun untuk beritanya," demikian katanya di Twitter.
Lalu mau apa?
Pastinya, mau model bisnisnya apa pun, praktik jurnalisme yang buruk tidak bisa diterima. Jangankan pembaca, wartawan juga malas kalau ada rekan satu redaksi yang membuat berita buruk.
Tak terhitung perdebatan di grup WhatsApp bersama rekan kerja maupun atasan untuk mengupayakan jurnalisme yang berkualitas.
Kritik dari pembaca, seperti pada kasus Reynhard, penting dan perlu. Namun lebih dari itu, perlu upaya kolektif sehingga jurnalisme yang baik itu bukan menjadi mimpi.
Di sini, kemauan media untuk bereksperimen penting. Demikian juga kemauan publik untuk berkontribusi serta akademisi dan peneliti media untuk melihat lebih dalam.
Di Inggris, ada The Bristol Cable yang bereksperimen dengan model koperasi. Anggota koperasi adalah pemilik media.
Dengan ini, maka suara anggota yang punya ragam latar belakang bisa didengar. Hingga tahun 2018, sebagian besar pendanaan media ini masih bersumber dari grant.
Namun, salah satu reporter media itu bernama Matty Edwards mengungkapkan, The Bristol Cable akan meningkatkan jumlah anggota dan berharap kontribusi keuangan dari mereka untuk beroperasi.
Media dari Swiss, Republik, juga punya model yang mirip. Dalam 7 jam peluncuran, media ini mendapat 3.000 subscriber dan sekitar Rp 10 miliar.
Republik bukan mengajak orang membeli artikel, tetapi membayar untuk menjadi bagian dari komunitas dan memperjuangkan kebenaran bersama. Salah satu jargon media ini adalah "No Journalism, No Democracy".
Di Indonesia belum ada model ini. Sejumlah media mengupayakan model subscription. Namun, harian Kompas lewat Kompas.id misalnya, dengan 275 juta penduduk Indonesia, masih terus berjuang untuk meningkatkan subscriber-nya.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, ada beberapa media baru muncul dengan bantuan donor tetapi banyak dari mereka surut ketika donor lepas.
Media di Indonesia punya pekerjaan rumah, bagaimana agar orang merasa beritanya worth it sehingga publik mau berkontribusi?
Perlukah ragam tipe subscription? Misalnya, kalau dulu satu kelurahan bisa baca satu koran, mungkin bisa subscription untuk komunitas, keluarga, atau beberapa orang dengan harga berbeda?
Toh, ini juga yang sebenarnya dilakukan Netflix, Spotify, banyak platform berbayar lain.
Sementara itu, peneliti media dan akademisi punya pekerjaan rumah juga untuk menjawab lebih dari soal bagaimana media mem-framing sebuah kasus.
Analisis untuk menjawab "mengapa begitu?' dan "bagaimana agar tidak begitu?" perlu dilakukan dengan banyak pisau. Bukan hanya dari kacamata komunikasi dan jurnalisme, tapi juga bisnis, teknologi informasi, dan lainnya.
Di Inggris, ada Reuters Institute for the Study of Journalism yang mempertemukan jurnalis, peneliti, dan akademisi untuk mengeksplorasi masa depan jurnalisme.
Tiap tahun, institut ini menerbitkan laporan yang misalnya tren dalam jurnalisme. Jadi bukan hanya berkata "media seharusnya... " tetapi memberikan data sebagai acuan media serta mengajak bersama mencari solusi.
Nah untuk pembaca, apa iya berita harus selamanya gratis? Kenyataannya, jurnalisme ada cost-nya.
Bukan hanya finansial, tetapi mungkin juga nyawa. Contohnya kasus kolumnis dan jurnalis Jamal Khassogi.
Jika bisa membeli rokok yang memicu kanker paru, bubble tea yang bisa memicu kegemukan, maka harusnya Anda juga bisa berkontribusi untuk jurnalisme yang sangat boleh jadi penting untuk kepentingan Anda sendiri.
https://sains.kompas.com/read/2020/01/10/172634223/pemberitaan-reynhard-sinaga-maukah-kita-membayar-untuk-jurnalisme-berkualitas