KOMPAS.com - Sebuah penelitian menemukan bahwa kebiasaan wanita suku Minangkabau dan suku Sunda untuk mengonsumsi makanan yang diolah dengan suhu tinggi dapat meningkatkan risiko obesitas.
Hal itu disampaikan oleh dr Praticia Budihartanti Liman MGizi SpGK, selaku penelitinya dalam acara promosi doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Kamis (9/1/2020).
Penelitian yang dilakukan Praticia berawal dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Republik Indonesia tahun 2018.
Riseksdas menemukan bahwa ternyata, ada kecenderungan peningkatan obesitas pada penduduk Indonesia, dan wanita memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Terkait penyebabnya, obesitas di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, seperti semakin tingginya komsumsi makanan olahan, rendahnya aktivitas fisik dan pengaruh sosial budaya.
Pengolahan makanan dan risiko obesitas
Praticia berfokus pada pengolahan makanan, terutama makanan yang dimasak dengan suhu tinggi, kadar air rendah dan waktu pemasakan yang lama seperti digoreng dan dipanggang, atau dibakar karena dapat meningkatkan kadar Carborxymethyl lysine (CML).
"Meningkatnya (kadar CML itu) bahkan 10-100 kali lebih tinggi dibandingkan kadarnya sebelum diolah," kata Patricia.
Untuk diketahui, CML merupakan struktur gula pereduksi yang berikatan dengan protein yang dapat terbentuk di dalam makanan maupun di dalam tubuh.
Adapun CML dapat memberikan pengaruh kurang menguntungkan bagi kesehatan, seperti memengaruhi obesitas melalui efek inflamasi atau peradangan di dalam tubuh yang dinilai dengan kadar TNF-alpha.
"Asupan CML terbukti memiliki peran sebagai perantara obesitas, melalui peningkatan kadar CML dan kadar TNF-alpha di dalam darah," kata Patricia.
Peran asupan CML ini lebih jelas terlihat terhadap obesitas sentral yang dinilai dengan perubahan lingkar pinggang dibandingkan terhadap obesitas secara umum yang dinilai dengan perubahan berat badan.
Makanan berisiko obesitas di Minangkabau dan Sunda
Makanan dari Minangkabau dikenal dengan proses pemasakan yang direbus dalam waktu yang lama dan didominasi oleh santan, sedangkan masakan Sunda lebih dikenal dengan proses pemasakan dengan cara digoreng.
"Perbedaan (proses memasak) ini dapat menyebabkan perbedaan nilai CML dalam makanan mereka," ujarnya.
Penelitian yang dilakukan Patricia menilai pengaruh asupan CML terhadap lingkar pinggang, rasio lingkar pinggang terhadap tinggi badan, dan indeks masa tubuh diantara wanita Asia.
Dari hasil penelitian tersebut, didapatkan basis data CML dalam makanan di kedua suku tersebut, dan diketahui bahwa terdapat 252 jenis makanan yang nilai CML-nya mencapai 161.
Nilai CML tersebut didapatkan melalui pemeriksaan langsung di laboratorium.
Rendang, ikan bilis goreng dan kalio adalah makanan dengan kandungan CML tertinggi pada makanan Minangkabau.
Sedangkan cimol, ikan peda goreng, dan bakso adalah makanan dengan kandungan CML tertinggi pada makanan Sunda.
Ditegaskan oleh Patricia bahwa dari penelitian yang dilakukannya, mengonsumsi tinggi CML telah terbukti memengaruhi obesitas, melalui peningkatan kadar CML dalam darah dan efek peradangan dalam tubuh.
Oleh karena itu, membatasi atau mengurangi konsumsi tinggi CML seperti konsumsi makanan olahan, diperlukan untuk menurunkan risiko obesitas pada populasi ini.
https://sains.kompas.com/read/2020/01/10/082355423/studi-wanita-minangkabau-dan-sunda-berisiko-obesitas-karena-makanannya