KOMPAS.com - Tahun ini, musim kemarau cenderung lebih panjang dibanding sebelumnya. Hal tersebut menyebabkan kekeringan yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia, serta menyebabkan bencana lainnya,
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Prof Dwikorita Karnawati MSc PhD, mengatakan ada beberapa fakta terkait musim kemarau yang cukup parah tahun ini.
1. Dinginnya suhu permukaan laut
Dijelaskan Prof Dwikorita, salah satu faktor penyebab kekeringan panjang 2019 adalah lebih dinginnya suhu permukaan laut di wilayah Indonesia terutama bagian selatan. Suhunya lebih rendah 0.5°C atau lebih dari kondisi normal pada periode Juni - November 2019.
Suhu permukaan laut yang lebih dingin menyebabkan sulit tumbuh awan yang berpotensi hujan akibat kurangnya kadar uap air di atmosfer, akibat rendahnya penguapan dari lautan.
Hal itu tampak pada tingkat kekeringan akibat rendahnya curah hujan pada periode musim kemarau dari bulan Juli hingga Oktober 2019.
2. Lebih kering dari pada tahun 2018
Secara umum, musim kemarau tahun 2019 menunjukkan kondisi lebih kering dari musim kemarau tahun 2018 dan acuan normal klimatologis tahun 1981-2010.
Meskipun, tidak lebih kering dari kondisi musim kemarau tahun 2015 saat terjadi fenomena El Nino kuat pada waktu itu.
Tingkat kekeringan meteorologis juga ditunjukkan oleh periode tanpa hujan lebih dari 3 bulan (90 hari) yang cukup merata terjadi di Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian besar Jawa.
Daerah Rumbangaru, Sumba Timur mencatat rekor hari tanpa hujan terpanjang pada tahun ini yaitu 259 hari.
3. Musim kemarau lebih panjang dari normal
"Panjang musim kemarau 2019 di Indonesia cenderung lebih panjang dari normalnya," ujarnya.
Pada tahun 2019, ~46 persen dari 342 Zona Musim di Indonesia mengalami panjang musim kemarau sama hingga lebih panjang 6 dasarian (2 bulan) dari normalnya.
Hingga pemutakhiran data tanggal 20 Desember 2019, musim kemarau masih berlangsung di Jatim bagian timur, sebagian besar Pulau Sulawesi, sebagian Kepulauan Maluku, Papua Barat, dan Papua bagian selatan.
4. Terjadi karhutla cukup parah
Salah satu dampak kekeringan yang cukup parah pada tahun ini adalah memburuknya kualitas udara lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Pada periode Karhutla Agustus - Oktober 2019, BMKG mencatat konsentrasi debu polutan berukuran kurang dari 10 mikron (PM10) di wilayah Sumatera menunjukkan kecenderungan tinggi.
Pada bulan September, konsentrasi semua wilayah di Sumatera melebihi nilai ambang batasnya (150 ug/m). Konsentrasi polutan di atas 450 ug/m terjadi di Pekanbaru pada 22-23 September yang mencapai 483.2 dan 420. 7 ug/m.
Di Palembang tercatat 476.2 dan 490.5 ug/m pada 14-15 Oktober. Hal ini juga terjadi di di Sampit dimana PM10 pada periode ini mencapai konsentrasi 211.2 ug/m.
Pada tanggal 12 - 16 September 2019, konsentrasi harian di Sampit lebih dari 400 ug/m tiap harinya.
Kemarau panjang dan kekeringan tahun ini turut memicu 52 kejadian kebakaran hutan dan lahan dan bencana asap.
5. Berdampak ke sektor pertanian
Kekeringan yang terjadi juga berdampak pada sektor pertanian, sumber daya air, kehutanan dan lingkungan pada tahun 2019.
Hal tersebut uga juga turut dipicu oleh fenomena Anomali Positip Suhu Muka Laut Pasifik Bagian Tengah (El Nino) yang aktif dari September 2018 hingga Juli 2019 di Samudera Pasifik ekuator bagian tengah.
Diikuti pula oleh fenomena Anomali Suhu Muka Laut di Samudera Hindia di mana Suhu Muka Laut di timur Afrika lebih hangat dibandingkan dengan suhu muka laut di Barat Daya Sumatera (IOD+) yang menguat sejak April 2019 hingga Desember ini.
6. Berdampak musim hujan datang terlambat
Kedua fenomena kopel atmosfer lautan dari sebelah timur dan sebelah barat Indonesia itu memiliki andil dalam membuat musim kemarau bertambah panjang dan kuat serta menjadikan musim hujan datang terlambat tahun ini.
Meskipun, BMKG sudah dengan baik merilis awal musim kemarau dan potensi kekeringan tahun 2019 yang dapat berdampak pada beberapa sektor terkait.
"Sehingga diperlukan peningkatan sinergitas multipihak dalam mengantisipasi dampak musim kemarau periode berikutnya," kata Prof Dwikorita.
https://sains.kompas.com/read/2019/12/31/200500823/6-fakta-kemarau-panjang-dan-kekeringan-parah-tahun-2019