Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

6 Strategi Turunkan Angka Resistensi Antimikroba di Indonesia

KOMPAS.com - Permasalahan Antimicrobial Resistance (AMR) yang semakin meningkat setiap tahunnya, menjadikan berbagai elemen bidang kesehatan sigap membuat inovasi dan standarisasi penanganan resistensi tersebut.

Percepatan untuk memutuskan rantai peningkatan prevalensi kasus pasien dengan AMR, atau setidaknya menekan angka kejadian tersebut, menjadi pilihan yang seharusnya dilakukan berbagai aspek terkait.

Dengan populasi sekitar 260 juta jiwa, pada 2000-2012, Indonesia tercatat memiliki tingkat resistensi tertinggi untuk Imipenem di antara negara-negara di Asia dengan angka 6 persen.

Ironisnya, prevalensi AMR di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun, hingga saat ini mencapai 64 persen.

Baik itu pemangku kebijakan, lembaga atau organisasi kesehatan, para ahli medis, serta masyarakat menjadi target tujuan edukasi dan pelaksanaan tatalaksana.

Hal itulah yang disampaikan oleh Ketua Komite Pengendalian Resisten Antibiotik (KPRA), Dr dr Hari Paraton SpOG dalam acara bertajuk bertajuk "Indonesia Memerangi Antimicrobial Resistance (AMR)", Jakarta, Kamis (19/12/2019).

"Setidaknya kita punya enam strategi untuk dapat melakukan percepatan untuk menekan atau menuntaskan salah guna antibiotik yang mengakibatkan resisten antimikroba (AMR)," kata dia.

Berikut enam strategi yang dimaksudkan oleh dr Hari:

1. Melakukan penyuluhan

Penyuluhan dilakukan dengan cara meningkatkan pemahaman dan pengetahuan kader, masyarakat dan dokter atau tim medis, serta pemangku kebijakan.

dr Hari menyebutkan penyuluhan tersebut dilakukan dengan tujuan meningkatkan pengetahuan semua elemen terkait betapa pentingnya menjaga diri dari dampak buruk akibat penggunaan yang salah tentang antibiotik.

2. Melakukan survei

dr Hari menyebutkan Indonesia dalam bidang kesehatan dikenal sebagai negara yang memiliki kasus, tetapi tidak memiliki data sebagai data based atau acuan pengembangan dan evaluasi.

Termasuk salah satunya, mengenai seberapa banyak penderita kasus resisten antimikroba yang ada di Indonesia.

Oleh sebab itu, survei sangat diperlukan untuk dapat mengetahui bagaimana status resisten antimikroba di Indonesia.

"Dengan begitu, tahu bakterinya yang tinggi mana, terus berapa banyak pengguna antibiotik sembarangan dan salah porsinya, jadi kita bisa spesifik mengatasi itu," ujarnya.

3. Melakukan pencegahan

Banyak hal yang sebenarnya bisa dilakukan terkait menghindari terjadinya resisten antimikroba dalam tubuh. Setidaknya, kata dr Hari, Anda bisa melakukan beberapa hal seperti melakukan vaksinasi atau imunisasi dan mencuci tangan.

Pencegahan infeksi dengan vaksin atau imunisasi juga dibutuhkan, meskipun sebagian orang menilai bahwa imunisasi itu tidak diperlukan.

Bagi dr Hari, vaksinasi (imunisasi) akan membuat bakteri atau virus yang menyerang tubuh, bisa mati di dalam tubuh karena proteksi dari imunisasi.

"Misalnya, saya tidak punya imunisasi atau vaksin, virus itu akan berkembang di tubuh saya dan menular kemana-mana. Itulah bagi saya pentingnya imunisasi," tuturnya.

Berikutnya, biasakan mencuci tangan sebelum makan, atau setelah melakukan sesuai yang mengundang bakteri menempel di tangan Anda.

4. Monitoring penggunaan antibiotik

Resisten antimikroba (AMR) terjadi pada umumnya karena organisme jahat di dalam tubuh sudah tidak mempan lagi menerima serangan dari obat yang ada.

Hal itu, pada umumnya bermula dari penggunaan antibiotik yang sembarangan dan terus-menerus tanpa diketahui kepentingan mengonsumsi antibiotik tersebut.

"Itu penggunaan antibiotik harus lebih dimonitor, supaya lebih betul cara menggunakannya (mengkonsumsi), dokter juga tidak boleh salah lagi dalam memberikan resep pemakaian antibiotik pada sakit yang diderita pasien," tuturnya.

5. Standarisasi antibiotik

dr Hari menegaskan, semua hal yang diharapkan termasuk mempercepat penekanan kasus AMR, ujung tombaknya ada pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Oleh karena itulah, pemerintah memiliki kewajiban untuk membuat standarisasi mengenai antibiotik tersebut. Selama ini belum ada standarisasi yang pasti mengenai penggunaan antibiotik di Indonesia.

"Selain itu juga membuat studi antibiotik baru, alat dianostik baru, treatment baru, dan metodologi pengobatan baru terkait resisten antimikroba ini," tegasnya.

6. Koordinasi lintas sektor

Dikarenakan persoalan resisten antimikroba ini menjadi masalah global, diperlukan koordinasi yang jelas dan tepat antar-sektor terkait. Hal itu dimaksudkan supaya kesalahan fatal karena pemakaian antibiotik yang terjadi tidak menjadi lebih buruk lagi.

Antibiotik yang dipakai di hewan, tidak boleh dipakai juga oleh manusia. Begitupun sebaliknya.

"Karena selama ini banyak antibiotik yang dipakai oleh manusia juga dipakaikan pada hewan ternak," ucap dokter Hari.

Presiden Direktur PT Pfizer Indonesia, Anil Argilla, menekankan pentingnya kemitraan publik dan swasta untuk mendorong kesadaran publik dan menyatakan bahwa kolaborasi adalah kunci untuk memerangi ancaman resistensi antimikroba yang berkembang.

“Kami mendukung upaya pemerintah untuk mengembangkan materi Program Antibiotik Stewardship bersama dengan Komite Nasional Pengendalian AMR (KPRA) dan asosiasi medis terkait. Tahun depan, kami akan mendukung pelatihan dan lokakarya tentang implementasi Program Pengelolaan Antimikroba Indonesia di lebih dari 30 rumah sakit di seluruh Indonesia," kata Anil.

https://sains.kompas.com/read/2019/12/27/120300523/6-strategi-turunkan-angka-resistensi-antimikroba-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke