KOMPAS.com - Hari ini tepat 15 tahun lalu, terjadi salah satu bencana alam paling destruktif sepanjang sejarah Indonesia. Tsunami besar menimpa Aceh pada 26 Desember 2004.
Bencana masif tersebut menewaskan 167.000 jiwa. Tak kurang dari 500.000 orang kehilangan tempat tinggal. Jumlah korban jiwa itu belum termasuk korban tsunami di wilayah lain.
Seperti diketahui, tsunami di Aceh diakibatkan gempa dangkal di laut bermagnitudo 9,3, yang jaraknya sekitar 149 kilometer dari Meulaboh. Secara keseluruhan, ada 14 negara yang terkena dampak tsunami dengan total jumlah korban mencapai 230.000 jiwa.
Ahli Tsunami Widjo Kongko menyebutkan bahwa tragedi besar tersebut merupakan Mega Tsunami Sumatera-Andaman, Aceh.
Kepada Kompas.com, Widjo mengatakan ada beberapa poin pelajaran yang dapat diambil dari tragedi tersebut.
1. Berharga bagi IPTEK Kebumian dan Penyadaran Mitigasi Global
Menurut Widjo, mega tsunami Aceh memberikan pelajaran sangat berharga bagi Ilmu Pengetahuan (Iptek) Kebumian dan Penyadaran tentang mitigasi bencana. Tidak hanya pada skala regional ataupun nasional, tetapi juga global.
"Mega tsunami 2004 (Aceh) jadi tonggak penyadaran mitigasi dengan lahirnya UU24/2007 tentang kebencanaan, BNPB dan BOBD di tingkat kabupaten," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (26/12/2019).
Lebih lanjut, kata Widjo, berbagai inisiatif dan donor bermunculan dalam ranah regional seperti Indian Ocean TEWS dan GITEWS.
2. Perkembangan tsunami science-engineering
Pasca-tsunami Aceh, dituturkan Widjo, perkembangan tsunami science-engineering setelah 15 tahun mengalami jalan panjang, naik-turun, dan berkelok.
Beberapa siklus kejadian gempa-tsunami dan sesar-sesar baru di Indonesia ditemukan. Tetapi karakter gempa lambat pemicu tsunami-gempabumi, sebagian parameternya masih menjadi misteri.
Sumber-sumber tsunami yang kompleks seperti di Palu dan non tektonik seperti di GAK Selat Sunda membuka tantang baru bahwa karakter-karakter sumber tsunami seperti itu ada, dan jadi sumber bencana baru di Indonesia.
Dari sisi sains, Mega Lindu-Smong 2004 juga menjadi bukti runtuhnya postulat yang dianut selama tiga dekade.
Postulat tersebut yaitu Lindu Megathrust hanya terjadi pada subduksi yang tegak lurus, sementara yang terjadi di tsunami Aceh pergerakan lempengnya miring.
Namun, efektivitas Early Warning System (EWS) atau Sistem Peringatan Dini yang didirikan sejak tahun 2008 tidak berguna saat Tsunami Selat Sunda dan Palu.
"Perlu dievaluasi dibangun kembali dengan konsep baru," tuturnya.
Oleh sebab itu, evakuasi mandiri menjadi solusi alternatif.
"Tapi implementasi di lapangan menghadapi berbagai ragam latarbelakang sosial budaya pada masyarakat potensi terdampak tidak mudah, dan butuh waktu serta biaya," kata dia.
3. Gencarnya program BNPB
Dituturkan Widjo tsunami Aceh membawa angin segar lewat program BNPB seperti Destana atau Katana untuk penguatan kapasitas desa hingga level keluarga.
Deputi baru (sistem-strategi) BNPB mencoba akomodasi dan isi ruang kosong upaya mitigasi yang selama ini titik beratnya lebih ke tanggap darurat.
"Upaya-upaya seperti ini berkejaran dengan bencana-bencana di Indonesia yang akhir-akhir ini eskalatif," tuturnya.
Namun, regulasi tataruang berbasis bencana seperti Batas Sempadan Pantai belum signifikan diterapkan dalam perencanaan infrastruktur di kawasan pesisir. Hal tersebut meningkatkan risiko bencana tsunami.
https://sains.kompas.com/read/2019/12/26/190400723/15-tahun-tsunami-aceh-apa-yang-sudah-kita-capai-