KOMPAS.com - Masalah penyakit Tuberkulosis (TB/TBC) pada anak dianggap menjadi hal yang mengkhawatirkan dunia, terutama bagi mereka yang mengalami resisten terhadap obat TBC.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Pediatri, Aliansi Kesehatan Global Gheskio Haiti, Vanessa Rouzier, dalam acara peluncuran Global Plan to End Tubercolosis (TB) oleh STOP TB Partnership, di Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Sebagai seorang dokter anak, Vanessa melihat ujung terburuk dari spektrum tuberkolosis, yaitu dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh anak-anak.
Terutama, saat pasien TBC anak mengalami resisten obat TBC. Pengobatan umumnya dilakukan adalah dengan suntik atau pemberian obat untuk dewasa yang dosisnya diturunkan.
Namun, pemberian obat dengan suntik bukan berarti aman untuk tubuh si kecil.
Sebab, dengan suntikan yang dilakukan terhadap anak-anak bahkan pada usia di bawah 13 tahun yang mengalami TBC, bukan tidak mungkin akan menimbulkan trauma pada anak.
Begitupun pemberian obat TBC untuk orang dewasa kepada anak pengidap TBC.
Meskipun dosisnya telah dikurangi dan disesuaikan terhadap daya tahan tubuh anak, tetapi efek sampingnya juga sangat buruk sekali, atau setara dengan kemoterapi.
"Kita semestinya tidak harus menimbulkan rasa sakit yang mengerikan kepada pasien anak, untuk dapat menyelamatkan mereka," kata dia.
Pediatrik (Drug-Resistant Tubercolosis)
Dalam kesempatan yang sama itu juga, Stop TB's Global Drug Facility (GDF) secara resmi meluncurkan obat anti-resisten TBC khusus untuk pasien anak.
Dari perkiraan ada sekitar 1,1 juta anak di bawah usia 15 tahun yang mengidap sakit TBC di seluruh dunia pada tahun 2018. Sementara itu, 32.000 diantara mereka memiliki resisten terhadap obat TBC.
Ironisnya, kurang dari 5 persen saja yang telah didiagnosis dan menerima perawatan. Bahkan lebih sedikit dari mereka yang berusia di bawah lima tahun menerima perawatan.
Setidaknya hanya 500 anak dengan resisten obat TBC secara global, menerima pengobatan dan dirawat, tetapi diberikan obat-obatan pada orang dewasa.
Oleh sebab itu, GDF telah berinisiatif membuat formula khusus terhadap resisten obat TBC pada anak, yang disebut menjadi penyakit paling mematikan di dunia ini.
GDF bersama dengan Proyek Sentinel telah berusaha mengenalkan dan mengimplementasikan obat anti-resisten TBC ini ke 56 negara.
Obat itu sendiri berbentuk tablet atau oral, dan dapat dikonsumsikan kepada anak dengan melarutkannya ke dalam cairan atau air. Satu tablet per hari dan harus dikonsumsi selama 12 bulan.
Mengenai rasa dan efek sampingnya, tidak seperti obat untuk orang dewasa yang diberikan.
Sehingga, tidak perlu lagi diberikan suntikan ataupun obat orang dewasa kepada anak dengan resisten obat TBC.
"Ini merupakan keajaiban, karena tidak memberikan efek samping yang buruk, tetapi tetap bekerja untuk pengobatan," ujarnya.
Pada tahun 2019, Stop TB GDF menyediakan lebih dari 1.100 perawatan untuk anak-anak dengan TB yang resisten terhadap obat di seluruh dunia.
Pasalnya, lebih dari dua kali lipat jumlah anak di bawah lima tahun yang secara historis dirawat setiap tahun disebabkan resisten obat TBC.
Di Indonesia sendiri, hanya ada 50 anak yang diberikan pengobatan dan perawatan dengan obat dari Stop TB GDF ini.
Kendala obat anti-resisten TBC
Obat ini terbilang mahal, meskipun dampak positif terhadap penyembuhan anak dengan resisten obat TBC sudah dibuktikan secara medis dan telah melalui fase uji klinis yang sesuai standar internasional.
Untuk diketahui bahwa inilah tujuan dari Stop TB Partnership menyerukan proposal bagi komunitas peduli TBC, masyarakat sipil, dan juga pemerintah di banyak negara untuk bersama mengumpulkan dana global memerangi dan mengakhiri TBC.
Bahkan, Stop TB GDF juga sangat terbuka manakala industri farmasi di semua negara berkeinginan untuk mau menjadi bagian yang mengembangkan atau memperbanyak produk obat anti-resisten TBC ini.
Meskipun juga termasuk dalam dukungan USAID dan Dana Global untuk memerangi AIDS, Tuberkolosis dan malaria, dengan masing-masing hibah akan berkisar antara 25.000 sampai 150.000 dollar AS (lebih dari Rp 250 juta sampai Rp 2,1 miliar) untuk mencakup 12 bulan kegiatan.
Seruan untuk proposal tersebut mencakup 14 negara dengan beban TBC tertinggi yaitu; Bangladesh, Kamboja, Kongo, India, Indonesia, Kenya, Mozambik, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Filipina, Afrika Selatan, Tanzania, Afrika Anglophone, Afrika Francophone, Asia, Amerika Latin, Karibia, dan Eropa.
https://sains.kompas.com/read/2019/12/11/110600123/perangi-tbc-anak-obat-anti-resisten-tuberkulosis-harganya-selangit