Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pelajaran Penting dari Gagalnya Modifikasi Gen Bayi di China

Oleh Dimitri Perrin dan Gaetan Burgio

LEBIH dari satu tahun lalu, dunia dicengangkan oleh seorang biofisikawan Cina He Jiankui yang mencoba menggunakan teknologi CRISPR (Clustered Regularly Interspaced Short Palyndromic Repeats) untuk memodifikasi embrio manusia dan membuatnya tahan dari virus HIV yang berujung pada kelahiran anak kembar, Lulu dan Nana.

Sekarang, rincian penting mengenai riset ini telah diungkapkan dalam rilis studi terkini yang memicu serangkaian pertanyaan mengenai bagaimana genom Lulu dan Nana dimodifikasi.

Bagaimana CRISPR bekerja

CRISPR adalah sebuah teknik yang memungkinkan para ilmuwan mengedit secara tepat untuk tiap DNA dengan cara mengubah urutannya.

Ketika menggunakan CRISPR, Anda dapat mencoba untuk “merobohkan” gen dengan mengubahnya menjadi tidak aktif atau mencoba untuk mencapai modifikasi tertentu, seperti memperkenalkan DNA baru atau menghapus bagian DNA yang diinginkan.

Penyuntingan gen dengan sistem CRISPR bergantung pada gabungan dua molekul. Salah satunya merupakan protein yang disebut Cas9. Protein ini berperan penting dalam “pemotongan” DNA.

Molekul lainnya adalah molekul RNA pendek (asam ribonukleat) yang berfungsi sebagai “panduan” dalam membawa Cas9 agar sampai pada posisi tempat ia seharusnya dipotong.

Sistem ini juga memerlukan bantuan dari berbagai sel yang sedang disunting. Karena kerusakan DNA kerap terjadi, maka sel secara teratur perlu memperbaiki bagian DNA yang rusak. Mekanisme perbaikan sel ini-lah yang memperkenalkan penghapusan, penyisipan, atau modifikasi saat penyuntingan gen.

Bagaimana genom Lulu dan Nana dimodifikasi

He Jiankui dan koleganya menargetkan mendapatkan hasil gen yang disebut CCR5. Gen ini sangat penting bagi virus HIV untuk masuk ke dalam sel darah putih (limfosit) dan menginfeksi tubuh manusia.

Salah satu varian CCR5, yaitu CCR5 Δ32, tidak memiliki susunan kombinasi 32 huruf pada kode DNA. Varian ini secara alami terjadi pada populasi manusia dan menghasilkan tingkat resistensi yang tinggi terhadap jenis HIV yang paling umum.

He Jiankui dan timnya ingin membuat ulang mutasi ini pada embrio manusia dengan menggunakan CRISPR dalam upaya membuat DNA manusia kebal terhadap infeksi HIV. Tapi proses ini tahun lalu tidak berjalan baik seperti yang direncanakan, dan ada beberapa langkah yang memungkinkan mereka gagal dalam penelitian.

Pertama, terlepas dari klaim mereka dalam abstrak artikel mereka yang tidak dipublikasikan, mereka menyatakan telah memproduksi ulang mutasi CCR5 manusia, padahal pada kenyataannya mereka hanya berusaha memodifikasi CCR5 dekat dengan mutasi Δ32.

Akibatnya, mereka malah menghasilkan mutasi berbeda yang efeknya tidak diketahui. Hasil mutasi ini mungkin atau mungkin saja tidak memberikan resistensi terhadap HIV dan mungkin atau mungkin tidak memiliki konsekuensi lain.

Yang mengkhawatirkan, mereka tidak menguji coba ini lebih dulu dan malah langsung menanamkan gen ini pada embrio. Tindakan ini tidak bisa dibenarkan.

Efek mosaik

Sumber kesalahan kedua terjadi karena penyuntingan gen tidak sepenuhnya efisien. Ini berarti bahwa tidak semua sel pada embrio perlu disunting.

Sebuah organisme disebut “mosaik” ketika memiliki campuran sel yang telah disunting dengan yang tidak disunting. Meskipun data yang tersedia masih terbatas, tampaknya baik Lulu dan Nana merupakan organisme mosaik.

Hal ini membuat Lulu dan Nana makin kecil kemungkinannya menjadi bayi hasil penyuntingan gen yang tahan terhadap infeksi HIV. Risiko karena mosaik ini haruslah menjadi alasan lain untuk tidak menanamkan gen pada embrio.

Selain itu, penyuntingan gen dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan di tempat lain dalam genom.

Saat mendesain sebuah eksperimen CRISPR, Anda memilih RNA “panduan” agar urutannya unik seperti gen yang Anda harapkan. Namun, pemotongan yang tidak sesuai target masih dapat terjadi di tempat lain dalam genom, terutama pada tempat yang memiliki kemiripan urutan.

He Jiankui dan timnya menguji berbagai sel dari embrio yang telah disunting dan hanya melaporkan 1 modifikasi yang tidak sesuai terget. Kendati demikian, pengujian mereka memerlukan pengambilan sampel sel yang kemudian membuat sel tersebut tidak lagi menjadi bagian dari embrio - karena embrio terus berkembang.

Oleh karena itu, sel-sel tersisa pada embrio belum mengalami pengujian dan mungkin memiliki modifikasi berbeda yang tidak sesuai target.

Ini bukanlah kesalahan tim karena selalu ada keterbatasan dalam mendeteksi target yang tidak sesuai dan mosaik. Yang bisa kita lakukan hanyalah mendapatkan sebuah gambaran parsial.

Meskipun begitu, gambaran parsial seharusnya tidak membuat mereka terdiam.

Ide buruk dari awal

Di atas, kami telah mendeskripsikan beberapa risiko yang berhubungan dengan modifikasi embrio yang dapat dilanjutkan ke generasi masa depan.

Penyuntingan embrio hanya dapat dibenarkan secara etis dalam kasus yang menghasilkan manfaat jelas lebih besar daripada risikonya.

Selain masalah teknis, para peneliti bahkan tidak menyampaikan adanya kebutuhan medis yang tidak terpenuhi.

Meski ayah si kembar, Lulu dan Nana, positif mengidap HIV, telah ada cara yang mumpuni untuk mencegah ayah yang positif HIV menginfeksi ke anaknya, yakni metode “pencucian sperma” yang sebenarnya juga digunakan oleh tim tersebut.

Satu-satunya keuntungan dari percobaan modifikasi gen, jika terbukti, adalah mengurangi risiko infeksi HIV pada si kembar di kemudian hari.

Tapi, terdapat cara yang lebih aman dalam mengendalikan risiko infeksi, seperti penggunaan kondom dan pengujian wajib dalam donor darah.

Implikasi penyuntingan gen sebagai sebuah bidang penelitian

Penyuntingan gen memiliki aplikasi yang tidak ada habisnya. Ini dapat digunakan untuk membuat tanaman seperti pisang Cavendish yang lebih tahan dari penyakit yang merusak. Penyuntingan gen dapat berperan penting dalam adaptasi tanaman terhadap perubahan iklim.

Dalam kesehatan, kita sudah melihat hasil yang menjanjikan seperti dalam penyuntingan sel somatik, yang merupakan modifikasi sel pasien yang tak bisa diwariskan, dalam penyakit thalassemia beta dan penyakit sel sabit.

Meski begitu, kita belum siap dalam penyuntingan embrio manusia. Teknik kita tidak cukup matang dan tidak ada kasus selama ini yang tidak bisa diatasi dengan menggunakan teknik lain, seperti pengujian genetik praimplantasi.

Tentu masih ada pekerjaan yang diperlukan dalam penataannya walapun telah ada permintaan untuk moratorium penyuntingan gen baik dari individu maupun dari para ahli WHO hingga UNESCO.

Namun, belum ada konsensus yang muncul.

Ini penting saat diskusi ini dipindahkan serempak ke tahap kedua yang melibatkan pemangku kepentingan lainnya, seperti kelompok pasien yang memiliki perhatian dan informasi lebih luas. Keikutsertaan publik juga menjadi faktor penting dalam penyelesaian masalah ini.

Dimitri Perrin

Senior Lecturer, Queensland University of Technology

Gaetan Burgio

Geneticist and Group Leader, The John Curtin School of Medical Research, Australian National University

Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Kegagalan editing gen bayi di Cina menunjukkan kita tidak siap untuk memodifikasi embrio manusia". Isi di luar tanggung jawab Kompas.com.

https://sains.kompas.com/read/2019/12/11/070300023/pelajaran-penting-dari-gagalnya-modifikasi-gen-bayi-di-china

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke