KOMPAS.com - Beberapa hari lalu, kisah Layangan Putus ramai dibahas di berbagai lini media sosial.
Layangan putus menceritakan seorang istri dengan empat orang anak yang ditelantarkan suami demi perempuan lain.
Banyak warganet yang bersimpati atas kisah Layangan Putus pun memberi komentar dan tak sedikit yang membagi ulang utas tersebut.
Tak sedikit pula yang mengungkapkan kekesalan dan kemarahannya pada sang suami ataupun perempuan yang dicurigai sebagai orang ketiga, entah kecurigaan tersebut benar atau tidak.
Dari hal ini, kemudian muncul pertanyaan. Kenapa banyak warganet bersimpati dan ikut tersulut emosi karena cerita Layangan Putus?
Menjawab pertanyaan ini, Kompas.com menghubungi Pingkan Rumondor, psikolog klinis dewasa yang memiliki spesialisasi di bidang hubungan, keluarga, dan pernikahan.
Menurut Pingkan, Layangan Putus bukanlah cerita bahagia menurut norma sosial Indonesia.
"Memang secara normatif itu cerita yang menggugah emosi marah dan kesal, terutama bagi yang baca," ujar Pingkan dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (6/11/2019).
Kemudian, alasan kenapa cerita ini bisa sangat menggugah emosi, menurut Pingkan ini disebabkan oleh pengalaman individual yang mungkin pernah dirasakan pembaca.
"Kenapa itu bisa menggugah, kisah (Layangan Putus) mungkin dekat dengan apa yang pernah mereka alami atau yang dialami sama orang terdekat (pembaca)," imbuh dia.
"Jadi, ketika ada situasi yang mirip, otak kita akan bekerja (dan) mengingatkan pada perasaan yang mirip juga yang pernah kita alami," imbuh Pingkan.
Perempuan yang juga menjadi dosen di Universitas Bina Nusantara (Binus) ini mengatakan, ketika seseorang membaca sebuah kisah kemudian muncul perasaan sedih atau marah, dia juga sebenarnya mengingat pengalaman yang membuatnya marah atau kesal. Baik itu pengalaman yang dialami diri sendiri, ataupun orang terdekat.
Emosi inilah yang kemudian membuat seseorang dapat bersimpati dan menempatkan diri menjadi tokoh istri dalam cerita Layangan Putus tersebut.
Menurut Pingkan, hal seperti ini sebenarnya wajar.
Akan tetapi, ada beberapa orang yang kemarahannya atau kekesalannya melebihi batas normal.
Ibarat kekesalan dalam skala 0-10, bila seseorang mengungkapkan kekecewaan atau kemarahan pada level 5, itu masih wajar.
Namun bila sudah lebih dari itu, misalnya sampai di level 8, kemungkinan besar ada masalah pada diri orang tersebut, ada faktor-faktor kepribadian yang memengaruhi hal ini.
"Ada beberapa orang, terutama orang-orang dengan kecenderungan reaktivitas emosi yang tinggi, mereka lebih mudah merasakan emosi dengan lebih intens," ungkap Pingkan.
"Reaktivitas emosi yang tinggi bisa karena kepribadian, bisa juga ada gangguan tertentu. Kalau marah dan sedihnya berlebihan, mungkin ini menunjukkan gejala-gejala tertentu yang perlu dikonsultasikan lebih lanjut," terang Pingkan.
https://sains.kompas.com/read/2019/11/06/173200123/viral-layangan-putus-kenapa-orang-jadi-emosi-baca-kisah-ini-