Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Terungkap, 9 Faktor yang Berperan dalam Kecelakaan Lion Air JT 610

Pesawat dengan rute penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang itu mengangkut 189 orang.

Berdasarkan catatan maniferst, 181 orang merupakan penumpang yang terdiri atas 124 laki-laki, 54 perempuan, satu anak-anak, dan dua bayi. Sementara delapan sisanya merupakan pilot, kopilot, dan enam awak kabin.

Pesawat tersebut berjenis Boeing 737 max 8 yang dibuat tahun 2018. Lion Air sendiri baru mengoperasikan pesawat itu pada 15 Agustus 2018 dan baru memiliki kurang lebih 800 jam terbang.

Satu tahun pasca tragedi tersebut, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) akhirnya merilis hasil investigasi kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 itu.

Diberitakan Deutsche Welle (DW) Indonesia, Kantor berita Reuters memperoleh transkrip slide yang dipresentasikan oleh para pejabat Indonesia kepada kerabat korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 dalam sebuah pengarahan pada Rabu (23/10/2019). Laporan lengkap rencananya baru akan dirilis pada hari Jumat (25/10/2019).

Berikut sembilan faktor yang menurut kesimpulan pejabat Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan:

1.Asumsi respons pilot terhadap kerusakan

Selama desain dan sertifikasi Boeing 737-8 (MAX), dibuat asumsi-asumsi terkait respons pilot terhadap kerusakan. Meski konsisten dengan pedoman industri saat ini, ternyata asumsi ini tidak benar.

2. Perangkat lunak yang mengontrol MCAS

Berdasarkan pada asumsi ini, perangkat lunak yang mengontrol hidung pesawat (MCAS) bergantung pada sensor tunggal dan dinyatakan tepat dan memenuhi semua persyaratan sertifikasi.

3. Sensor AOA

MCAS pada pesawat dirancang untuk bergantung sepenuhnya pada sensor AOA, hal ini membuatnya rentan terhadap input yang salah dari sensor itu.

AOA atau Angle of Attack adalah parameter kunci dalam penerbangan yang menunjukkan sudut antara sayap pesawat dan arus udara yang mengalir ke arah pesawat.

Jika sudut ini terlalu tinggi, pesawat bisa saja mandek atau kehilangan daya angkat. Data parameter diambil dari dua sensor, satu di antaranya terletak di sisi hidung pesawat.

4. Tak ada panduan MCAS atau penggunaan trim yang terperinci

Dalam manual penerbangan dan sewaktu pelatihan pilot, tidak ada panduan tentang MCAS atau penggunaan trim yang lebih terperinci. Ini semakin menyulitkan kru penerbangan untuk merespons MCAS yang bekerja secara otomatis.

5. Peringatan AOA DISAGREE

Peringatan AOA DISAGREE tidak diaktifkan dengan benar selama pengembangan Boeing 737-8 (MAX).

Akibatnya, peringatan ini tidak muncul selama penerbangan dengan sensor AOA yang salah dikalibrasi.

Ini juga tidak dapat didokumentasikan oleh kru penerbangan dan karenanya tidak tersedia untuk membantu bagian pemeliharaan dalam mengidentifikasi sensor AOA yang salah dikalibrasi.

6. Sensor pengganti AOA salah dikalibrasi

Sensor pengganti AOA yang dipasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan telah salah dikalibrasi selama perbaikan sebelumnya. Kalibrasi yang salah ini tidak terdeteksi selama perbaikan.

7. Uji pemasangan sensor AOA

Investigasi juga tidak dapat menentukan bahwa uji pemasangan sensor AOA telah dilakukan dengan benar; namun kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.

8. Kurang dokumentasi

Kurangnya dokumentasi terkait penerbangan pesawat dan catatan perawatan tentang stick shacker dan penggunaan Runaway Stabilizer NNC yang terus-menerus menunjukkan bahwa informasi ini tidak tersedia bagi kru pemeliharaan di Jakarta dan juga bagi kru kecelakaan. Ini menyulitkan para pihak terkait untuk melakukan tindakan yang sesuai.

9. Sejumlah peringatan komunikasi tidak dapat dikelola secara efektif

Sejumlah peringatan, aktivasi MCAS yang terus berulang dan gangguan komunikasi dengan pihak Air Traffic Control tidak dapat dikelola secara efektif.

Ini disebabkan oleh sulitnya situasi dan kurangnya penanganan manual, eksekusi Non-Normal Checklist (NCC) - yang merupakan prosedur untuk memecahkan masalah - serta komunikasi awak pesawat, mengarah pada tidak efektifnya aplikasi Crew Resource Management yaitu metode koordinasi antarpilot yang dirancang untuk memperbaiki respons terhadap kesalahan dan mengurangi stres.

Kekurangan ini sebelumnya telah diidentifikasi selama pelatihan dan muncul kembali selama penerbangan yang kemudian berakhir dengan kecelakaan.

https://sains.kompas.com/read/2019/10/25/123200823/terungkap-9-faktor-yang-berperan-dalam-kecelakaan-lion-air-jt-610

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke