Setiap hari, BMKG mendeteksi dan melaporkan guncangan gempa di Indonesia. Baik yang berskala besar dan dapat dirasakan, hingga yang berlangsung sekejap dan tidak kita rasakan.
Gempa-gempa besar atau yang disebut gempa megathrust merupakan gempa yang berpotensi tsunami.
Sejarah mencatat, tsunami pernah menerjang pesisir Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan juga Papua sejak ratusan tahun lalu.
Perlu diketahui, bencana alam seperti tsunami dan gempa besar merupakan fenomena dengan siklus berulang yang artinya ratusan tahun lalu pernah terjadi, beberapa tahun belakangan terjadi, dan di masa depan pasti akan terjadi lagi.
Oleh sebab itu, para ahli kegempaan dan tsunami terus berupaya untuk meneliti potensi-potensi gempa besar dan tsunami di Indonesia.
Namun, kajian dan penelitian dari para ahli juga harus diimbangi upaya masyarakat, salah satunya dengan mitigasi sejak dini.
Memahami tsunami
Dalam acara bertajuk Mitigasi di Tengah Ancaman Gempa Megathrust di Yogyakarta, Sabtu (19/10/2019), Widjo Kongko, ahli tsunami sekaligus Perekayasa Bidang Kelautan Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai (BTIPDP) dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjelaskan tentang tsunami dan bagaimana mitigasinya.
"Tsunami merupakan perpindahan volume air laut akibat gempa bumi, letusan gunung api, atau longsor. Hal ini bisa membuat daratan yang ada di dasar laut mengalami perubahan (naik) sehingga menimbulkan tsunami," kata Widjo dalam acara tersebut.
Dia menerangkan, gelombang di laut dalam bergerak dengan sangat cepat, sekitar 800 kilometer per jam.
Namun semakin mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami berkurang, yakni di bawah 80 kilometer per jam.
"Kalau sudah sampai pantai kira-kira (kecepatan gelombangnya) 30-40 kilometer per jam," terang Widjo.
Dari bukti-bukti fenomena tsunami yang sudah pernah terjadi sebelumnya, ketika tsunami sudah masuk bibir pantai makhluk hidup yang ada di sekitarnya sudah tidak bisa lari ke manapun.
Saat manusia tak sempat berlari ke tempat lebih tinggi dan menyelamatkan diri, dapat dipastikan dia akan terseret ombak tsunami.
Data dunia yang dikumpulkan International Disaster Database dan BNPB juga menyebutkan bahwa gempa bumi dan tsunami merupakan bencana alam yang paling banyak menelan korban dibanding banjir, tanah longsor, puting beliung, kekeringan, erupsi gunung berapi, abrasi, dan karhutla.
Mitigasi tsunami
Berlari
Widjo menyarankan, ketika kita merasakan gempa kuat cukup lama hingga beberapa detik dan sedang berada di bibir pantai, usahakan untuk langsung pergi menjauh dari pesisir.
"Saran saya, kalau sudah merasakan gempa cukup lama dan berada di sekitar kawasan pantai, lebih baik langsung lari menuju tempat lebih tinggi," ujar dia.
Hutan mangrove
Selain berlari, para ahli tsunami termasuk Widjo sepakat bahwa hutan mangrove atau hutan bakau dapat mengurangi dampak buruk tsunami.
Gambarannya seperti ini, jika kita berada di sungai dan tak ada pelindung apapun, kemudian tiba-tiba ada gelombang air datang, maka sangat mungkiin kita akan hanyut terbawa air tersebut.
Namun, jika ada pelindung seperti pepohonan yang sengaja diletakkan di sungai, maka energi terpaan gelombang air yang dirasakan tidak sebesar pada kasus pertama dan hal ini akan mengurangi dampak tsunami.
"Hutan mangrove dengan luas sekitar 400 meter persegi, efektif mereduksi tsunami dengan ketinggian 6 sampai 7 meter, menjadi 1,5 meter. Ini yang terjadi di Muawe, Lahewa, Pulau Nias dan Pantai Barat Aceh," ujar Widjo.
Adopsi kearifan lokal
Seperti disebutkan di atas, fenomena tsunami yang menerjang Nusantara merupakan pola berulang. Ratusan atau ribuan tahun lalu pernah terjadi, hari ini terjadi, dan di masa depan juga akan terjadi.
Berbagai kearifan lokal dalam bentuk mitos, cerita rakyat, lagu, syair, hikayat di masa lalu sebenarnya juga mengisahkan tentang situasi di masa lalu, salah satunya ketika tsunami menerjang.
Widjo bahkan mengatakan, beberapa nama desa di Indonesia sebenarnya diambil dari nama tsunami atau bencana alam di masa lalu.
"Indonesia daerah gempa bumi dan tsunami pada masa lalu, kini, dan yang akan datang. Masih banyak kejadian bencana dan peninggalannya yang belum digali dan diteliti," kata Widjo.
"Untuk mitigasi, kita perlu mengenali karakteristik ancaman bencana yang unik di setiap daerah, adopsi keraifan lokal, penguatan kapasitas, dan sinergitas stakeholders," tutup Widjo.
penelitian dampak tsunami yang pernah dilakukan Widjo dan ilmuwan lain juga menemukan bahwa hutan mangrove atau hutan bakau dapat mengurangi dampak buruk dari terpaan tsunami.
https://sains.kompas.com/read/2019/10/20/134022023/3-cara-mitigasi-tsunami-salah-satunya-adopsi-kearifan-lokal