Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Penemuan Mengubah Dunia: Tes DNA, Bermula dari Temuan Golongan Darah

Proyek ini menganalisis asal usul 16 responden asal Indonesia dari berbagai latar belakang dan etnik berbeda.

Hasilnya, tak ada satu pun responden yang pribumi tulen. Setiap individu memiliki perpaduan beberapa nenek moyang dari luar Indonesia.

"Kalau dari sudut genetika dari data ilmiah, kalau pribumi harusnya 100 persen Indonesia. Tapi hasilnya, dari 16 responden semuanya bercampur (asal moyangnya), tidak ada yang 100 persen Indonesia. Jadi tidak ada yang bisa mengklaim pribumi asli,” kata Deputi Fundamental Eijkman Institute Prof Dr Herawati Aru Sudoyo di Museum Nasional, Selasa (15/10/2019).

Dalam melakukan penelusuran asal usul orang Indonesia, Herawati bersama timnya menggunakan tes DNA.

Namun, bagaimana awal mula tes DNA hingga bisa mengungkap siapa kita sebenarnya?

Tes DNA

Tes DNA merupakan metode ampuh untuk mengidentifikasi individu, dan dipastikan akurat 100 persen.

Sebelum ada pengujian DNA, komunitas ilmiah menggunakan alat biologis tertentu untuk dapat mengidentifikasi dan menentukan hubungan biologis individu.

Metode awal yang digunakan berdasar golongan darah, tes serologi (tes untuk mencari antibodi dalam darah), dan tes HLA (untuk menguji sel darah putih dan sistem kekebalan tubuh).

Di awal perkembangan dunia medis, tes tersebut dipakai untuk mencocokkan donor darah dengan jaringan penerima dan mengurangi tingkat penolakan untuk pasien transplantasi.

Sayangnya, metode ini tidak dapat mengidentifikasi dan menentukan hubungan biologis.

Pengujian DNA atau tes DNA baru dikenal pada akhir 1970-an sampai awal 1980-an.

Di masa itu, para ilmuwan menemukan cara akurat untuk mengidentifikasi dan menentukan hubungan biologis.

Berkat munculnya tes DNA, hari ini kita dapat mengetahui identitas individu dan mencari kerabat biologis yang mungkin sempat terpisah.

Perjalanan panjang hingga ada tes DNA

1920: Temuan golongan darah

Pada awal 1920-an, para ilmuwan mengidentifikasi 4 jenis darah pada manusia, -A, AB, B, dan O. Golongan darah ini disebut juga tipe darah ABO.

Identifikasi keempat golongan darah tersebut didapat dari protein antigen yang ada di dalam darah.

Penemuan keempat golongan darah ini berguna untuk prosedur medis seperti transfusi darah.

Para ilmuwan pun menyadari bahwa golongan darah diwariskan secara biologis. Artinya, golongan darah anak sama dengan golongan darah orangtua biologisnya.

Namun, kemampuan untuk mengidentifikasi hubungan biologis juga tidak akurat bila hanya mengandalkan tes ABO.

1930-an: Pengujian Serologi

Pada 1930-an, para ilmuwan menemukan protein lain di permukaan sel darah yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi orang.

Sistem golongan darah Rh, Kell, dan Duffy, mirip seperti tipe golongan darah ABO yang berdasarkan keberadaan antigen spesifik yang diturunkan secara biologis.

1970-an: Pengujian HLA

Pada pertengahan 1970-an, para ilmuwan fokus meneliti tipe jaringan dan menemukan apa yang disebut Human Leukocyte Antigen (HLA).

HLA merupakan protein yang ada di seluruh tubuh kecuali sel darah merah. HLA dalam sel darah putih diketahui memiliki konsentrasi tinggi.

Menariknya, tipe HLA yang berbeda bervariasi antara orang-orang yang terkait secara biologis.

Karena variabilitas tipe HLA yang tinggi pada setiap orang, HLA kemudian digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang hubungan biologis.

Kekuatan pengecualian HLA adalah 80 persen, ditambah tes golongan darah dan pengujian serologi menjadi sekitar 90 persen.

Namun, metode ini memerlukan sampel darah yang besar.

Untuk saat ini, tes HLA, ABO, dan serologi sudah jarang digunakan untuk pengujian hubungan biologis, dan diganti tes DNA dengan metode lebih kuat dan akurat.

1980-an: Pengujian DNA RFLP

Pada awal 1980-an, analisis Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) menjadi tes genetik pertama yang menggunakan DNA.

Seperti HLA, ABO, dan serologi, DNA diwarisi secara genetik dari kedua orangtua biologis.

Para ilmuwan menemukan daerah dalam DNA yang sangat bervariasi (polimorfik) dan lebih diskriminatif daripada HLA dan protein darah.

DNA ditemukan di setiap sel dalam tubuh, kecuali sel darah merah.

Prosedur RFLP menggunakan enzim (restriction endonucleases) untuk memotong DNA dan memberi label probe DNA untuk mengidentifikasi wilayah yang mengandung VNTR (Variable Number Tandem Repeats).

Dalam tes ayah di mana ibu, anak, dan ayah yang diduga diuji, setengah dari DNA anak harus cocok dengan ibu kandung dan setengah harus cocok dengan ayah biologis.

Namun terkadang, DNA anak mungkin tidak cocok dengan orangtua mana pun di lokasi DNA tunggal (lokus). Hal ini bisa disebabkan oleh mutasi.

Ketika hal seperti ini terjadi, perhitungan dilakukan untuk menentukan apakah inkonsistensi genetik yang diamati adalah mutasi atau pengecualian.

Kekuatan pengecualian tes DNA RFLP mencapai lebih dari 99,99%.

Namun saat ini tes ini tidak dilakukan secara rutin karena jumlah DNA yang diperlukan untuk pengujian (sekitar 1 mikrogram) memerlukan sampel darah dan diperlukan waktu yang lama untuk pengujian (sekitar 10 - 14 hari).

1990: Tes DNA PCR

Pada awal 1990-an, pengujian DNA Polymerase Chain Reaction (PCR) menggantikan analisis RFLP untuk menguji hubungan biologis.

Analisis PCR membutuhkan lebih sedikit DNA (1 nanogram) sehingga bisa menggunakan usap pipi (buccal). Dengan terobosan ini, ilmuwan tak perlu lagi membutuhkan banyak darah sebagai sampel DNA.

Pengujian PCR jauh lebih cepat daripada hasil RFLP, karena waktu dari pengiriman sampel ke laboratorium sampai mendapatkan hasil hanya butuh waktu sehari.

PCR menargetkan wilayah dalam DNA yang dikenal sebagai STRs (Short Tandem Repeats) yang sangat bervariasi.

Dalam tes paternitas di mana ibu, anak, dan ayah diduga diuji, DNA anak harus cocok dengan kedua orang tua biologis kecuali ada mutasi.

Perhitungan statistik dapat dilakukan untuk membantu menentukan apakah inkonsistensi genetik pada satu lokasi (lokus) konsisten dengan mutasi atau pengecualian.

Kadang-kadang lebih dari dua ketidakkonsistenan genetik diamati dan dalam kasus-kasus tersebut dilakukan pengujian tambahan.

DDC memeriksa lokus STR baterai standar, tetapi dapat menguji lokus STR tambahan ketika dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu kasus.

Kekuatan tes DNA PCR lebih besar dari 99,99 persen.

2000-an: SNP Array

Pada awal 2000-an, para ilmuwan menggabungkan ribuan lokus SNP (Single Nucleotide Polymorphism) menjadi satu tes.

SNP adalah perubahan huruf pada DNA yang dapat digunakan sebagai penanda genetik untuk berbagai aplikasi.

Array SNP tidak umum digunakan untuk pengujian hubungan biologis, tapi digunakan untuk sejumlah tes genetik lain seperti kecenderungan penyakit genetik, kesehatan dan kesejahteraan, dan keturunan.

DDC menggunakan array kustom 800.000 SNP besar untuk tes GPS Origins ™. Array berisi AIMs (Ancestry Informative Markers), penanda Y-Kromosom, penanda mitokondria, penanda DNA kuno, dan penanda lain yang berguna untuk membangun hubungan biologis yang lebih jauh seperti sepupu ke-4 atau ke-5.

2010: Next Generation Sequencing

NGS (Next Generation Sequencing) atau Massively Parallel Sequencing adalah teknik terbaru yang tersedia untuk analisis genetik.

Prosedur ini menghasilkan urutan DNA yang merupakan susunan linear huruf (A, T, C, dan G) yang terjadi dalam sampel DNA.

Karena teknik ini memungkinkan seseorang untuk memulai sekuensing secara bersamaan di ribuan lokasi dalam DNA yang tumpang tindih, sejumlah besar data dapat dihasilkan dan disatukan kembali dengan program bioinformatika yang sesuai.

Ini seperti mengambil buku dan memotong bagian-bagian kalimat kemudian menyusun kembali buku menggunakan program komputer untuk mengenali fragmen kalimat yang tumpang tindih.

https://sains.kompas.com/read/2019/10/18/113300423/penemuan-mengubah-dunia--tes-dna-bermula-dari-temuan-golongan-darah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke