Pemerhati ODGJ mengapresiasi BPJS karena sudah menanggung obat bagi para penderita gangguan jiwa.
Namun, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Yeni Rosa mewakili berbagai asosiasi dan komunitas kesehatan jiwa lainnya menyatakan bahwa pelayanan kesehatan untuk kesejahteraan masyarakat juga menjadi hak bagi ODGJ.
Menurut Yeni hal itu pada dasarnya adalah keharusan pemerintah untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat. Salah satunya dengan pemerataan obat-obatan sampai ke daerah-daerah.
Dalam pertemuan dengan BPJS di kantor BPJS, Jakarta, Jumat (11/10/2019); Yeni menegaskan, gangguan jiwa tidak hanya apa yang disebut masyarakat, orang gila.
Gangguan jiwa juga meliputi skizofrenia, kleptomania, gangguan bipolar, fobia, anorexia nervosa, obsessive-compulsive disorder (OCD), disosiatif, post-traumatic stress disorder (PTSD), somatoform, alzheimer, dan insomnia.
Sayangnya, baik pemerhati maupun penderita ODGJ mengaku kesulitan mendapat obat yang sesuai.
Sekali pun obat untuk ODGJ didapatkan, takarannya tidak sesuai dengan jangka waktu yang pas.
Yeni memberi contoh, banyak dari pasien atau keluarga ODGJ yang harus mengantre lama untuk mendapat obat. Harusnya pasien diberi obat untuk masa satu bulan, tapi nyatanya hanya diberi obat untuk jangka waktu satu sampai dua minggu.
Yeni mengatakan, ODGJ yang berada di daerah lebih sulit mendapatkan obat mereka.
"Padahal, ODGJ itu tidak berbahaya. Mereka hanya sesekali mengalami gejala. Kalau sudah dikasih obat dan istirahat, enggak ada itu yang bakal sampai kayak Joker bunuh-bunuh orang asal saja," tuturnya.
Indonesia masih pakai obat dengan efek samping tinggi
Fakta di lapangan, Yeni menuturkan obat yang diberikan ke ODGJ adalah jenis haloperidol.
"Obat haloperidol itu sudah lama sejak tahun 50-an, sekarang di Eropa juga sudah banyak ditinggalkan karena efek sampingnya itu parah," kata Yeni saat melakukan somasi dengan BPJS.
Haloperidol merupakan obat golongan antipsikotik yang bermanfaat untuk mengatasi gejala psikosis pada gangguan mental.
Efek samping dari obat ini yaitu, sakit kepala, muntah, lemas, sulit tidur, gangguan pada gerakan otot, beberapa gerakan anggota tubuh tidak terkendali, dan otot menjadi kaku.
"Kami punya teman di komunitas ODGJ Yogyakarta. Dia udah 11 tahun dikasih minum obat haloperidol dengan dosis yang sama juga, dan sekarang badannya itu makin kaku bahkan susah untuk ngobrol," ujarnya.
Padahal, dari cerita pemerhati yang juga menderita gangguan kejiwaan, mengkonsumsi obat dapat membantu mereka menenangkan diri dari stres atau kepanikan bahkan gejala sesuai dengan jenis gangguan masing-masing.
Permintaan pemerhati ODGJ
Pemerhati ODGJ meminta BPJS untuk bisa menjadi fasilitator. Mereka berharap, ODGJ mendapat obat generik yang baik dengan efek samping yang rendah bagi penderita gangguan jiwa.
"Memang ada obat yang efek sampingnya rendah, tapi itu mahal dan tidak semua orang mampu beli apalagi yang di daerah-daerah begitu. Nah, kenapa tidak dibikin saja generiknya. Biar juga tanggungan BPJS jadi tidak mahal, juga kami merasa aman mengkonsumsi obat," tuturnya.
Obat yang menurut para penderita yang hadir mewakili ODGJ dikomunitasnya, yang efek sampingnya lebih ringan daripada haloperidol ialah respiridon dan seroquel.
Namun, diakui juga bahwa jenis obat yang lebih ringan efek sampingnya tersebut cenderung lebih mahal harganya karena belum ada generiknya di Indonesia.
Kata Yeni, satuan obat seroquel itu di Indonesia harganya lebih dari Rp 60 ribu, sedangkan obat di luar negeri harganya berkisar Rp 3.500 sampai Rp 7.000.
Sementara itu, haloperidol harganya berkisar Rp 500 sampai Rp 1.500.
Pemerhati ODGJ berharap pemerintah bisa memberikan alternatif obat yang sesuai dan ringan efek sampingnya, rata pendistribusiaannya ke seluruh daerah Indonesia terutama daerah terpencil dan juga
"Inikan malah menguntungkan pemerintah, jadi BPJS tidak salah mengcover obat yang mahal. Duitnya daripada habis kan mending yang tadinya biaya satu obat mahal, malah jadi bisa dipakai ngobatin 20 orang," ucap dia.
https://sains.kompas.com/read/2019/10/13/180400523/pemerhati-odgj-tuntut-bpjs-perhatikan-obat-penderita-gangguan-jiwa