KOMPAS.com - Film Joker yang baru-baru ini tayang di bioskop Indonesia, menjadi perbincangan hangat dari berbagai kalangan, termasuk praktisi kesehatan hingga perhimpunan dan pemerhati kesehatan mental yang ada di Indonesia.
Salah satu yang ingin numpang popularitas Joker adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Di akun media sosialnya, Joker dijadikan bahan oleh BPJS untuk mensosialisasikan kepedulian kesehatan mental.
Namun, sayangnya langkah ini malah mendapat somasi dari berbagai kelompok pemerhati orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Usai somasi itu dilayangkan, pihak BPJS menghapus semua unggahan yang dianggap multitafsir tersebut.
Namun, apa keberatan para pemerhati ODGJ?
Dalam pertemuan dengan BPJS di kantor BPJS, Jakarta, Jumat (11/10/2019); Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Yeni Rosa mengatakan bahwa unggahan BPJS itu telah menambah stigma buruk terhadap penderita ODGJ.
“Kenapa kemudian BPJS mengeluarkan statement itu kita anggap penting? Karena BPJS ini kan lembaga negara. Kalau dia mengatakan orang gangguan jiwa tidak dikasih obat bisa jadi Joker, maka nantinya masyarakat akan menganggap itu sebagai legitimasi dari negara bahwa betul orang dengan gangguan jiwa itu berbahaya dan bisa jadi joker,” ucapnya.
Padahal, kata dia, penderita ODGJ sampai saat ini sudah mendapatkan stigma yang berat di masyarakat dan pada kenyataannya, orang yang menderita gangguan jiwa seperti skizofrenia ataupun bipolar tidak akan sampai menjadi seorang Joker hanya karena tidak minum obat itu.
"Kan kalau diumpamakan dengan Joker, itu bahaya sekali. Joker itu bisa membunuh siapa saja yang pernah menyakiti dia. Nah, kalau orang dengan gangguan jiwa sebenarnya tidak sampai bisa melakukan itu, kalau menyakiti diri sendiri ada," imbuhnya lagi.
Yeni berkata bahwa survei menunjukkan, orang dengan gangguan jiwa justru lebih besar kemungkinannya untuk menjadi korban kekerasan.
“Itu di Indonesia. Hampir semua responden pasien itu menyatakan pernah mengalami kekerasan. Ini melalui penelitian psikiater. Mereka memperinci sih mereka (orang sakit jiwa) sering diolok- olok, mereka dilempar batu, bahkan pernah jadi kekerasan seksual,” tuturnya.
Oleh karena itulah, pihak BPJS diminta untuk kembali menjadi lembaga pemerintah yang berupaya menghapus stigma negatif terhadap ODGJ di Indonesia. Salah satu caranya dengan lebih bijak dalam beropini menyangkut ODGJ.
Yeni juga meminta kepada masyarakat untuk tidak lagi menstigmasi orang yang gangguan jiwa.
https://sains.kompas.com/read/2019/10/11/190300823/bpjs-disomasi-komunitas-pemerhati-odgj-karena-joker-apa-keberatannya-