KOMPAS.com - Artis Rifat Umar (26) ditangkap polisi pada Rabu (2/10/2019) dini hari. Usai melakukan tes urine, diketahui Rifat menggunakan narkoba jenis ganja dan sabu.
Ganja menjadi salah satu dari jenis narkoba yang paling banyak digunakan di dunia, termasuk di Indonesia. Seperti apa karakteristik dan kandungan zat adiktif dalam ganja, sehingga masyarakat sulit untuk lepas dari belenggu tanaman ini?
Kompas.com menghubungi salah satu peneliti di Institute of Mental Health Addiction and Neuroscience Jakarta, dr Hari Nugroho, MSc untuk menjelaskannya.
Karakteristik ganja
dr Hari menjelaskan, ganja memiliki karakter utama dalam efek kandungan yang dimilikinya. Dua efek utama tersebut yaitu depresan dan halusinogen.
Depresan ialah kandungan zat atau jenis obat yang berfungsi mengurangi aktivitas fungsional tubuh.
Sementara halusinogen menjadi sebuah zat atau obat yang menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan pikiran.
"Makanya orang (yang) pakai itu (ganja) cenderung lebih santai. Ada yang tertawa atau ada distorsi ketika dia melihat sesuatu atau juga bisa jadi berhalusinasi karena ada kandungan halusinogen tadi," kata dr Hari, Jumat (4/10/2019).
Kandungan zat adiktif
dr Hari mengatakan sifat adiktif narkoba lebih rendah jika dibandingkan dengan heroin, sabu, ataupun putaw.
Namun, ganja juga memiliki ratusan zat psikoaktif dan Tetrahidrokanabinol (THC). Ini adalah senyawa yang paling aktif pada ganja. Senyawa THC juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penggunanya.
"Nah THC dalam ganja inilah yang bikin (penggunanya) nge-fly, yang bikin orang halusinasi, itu juga yang bikin orang lepas kendali sesaat," ujar dr Hari.
Meskipun demikian, dalam kandungan ganja juga terdapat senyawa senyawa aktif Cannabidiol atau dikenal dengan CBD. Senyawa yang satu ini dianggap penting dalam dunia kesehatan, dan dikatakan sebagai senyawa baik di dalam ganja.
Dari ratusan senyawa dari ratusan senyawa yang ada pada ganja, CBD justru mengurangi atau menekan efek halusinasi yang disebabkan zat lain di ganja tersebut.
"Kalau evidence-based beberapa riset yang ada sekarang, CBD baru berguna untuk mengurangi mual, terapi biotik, menghilangkan nyeri dan juga kejang-kejang pada penderita epilepsi," ucap dr Hari.
Tetapi, efek positif dari CBD yang terkandung di dalam ganja tersebut berlaku dalam kadar dosis yang sesuai penggunaan.
Jika dalam kadar dosis berlebihan, dr Hari mencontohkan sebuah kasus pada anak pengidap epilepsi kemudian diberikan CBD. Hal yang terjadi selanjutnya, anak tersebut mengalami muntah hebat.
Hal itulah yang menurut dr Hari masih perlu menjadi perhatian bagi petugas medis dan para peneliti. Untuk mencari ketepatan dosis, cara, dan batas penggunaan CBD dari ganja untuk membantu meringankan beberapa gejala penyakit.
"Namun yang pasti ganja tidak mengobati, melainkan hanya mungkin membantu meringankan gejala. Jangan seperti kasus suami yang memberikan istrinya ganja untuk mengurangi sakit tumor si istri, padahal tumornya itu tidak akan sembuh. Ganja hanya membantu mengurangi rasa nyeri karena ada efek halusinasi dan lain-lain itu," tuturnya.
Maka dari itu, dr Hari berharap agar masyarakat tetap bijak memilah apa yang perlu dikonsumsi, dengan mengetahui kegunaan dan efek dari bahan tersebut secara menyeluruh.
Tidak semata hanya membaca sekilas bahwa ganja punya manfaat, lantas tiba-tiba mengkonsumsi tanpa tahu kadar konsumsi dan efek samping dari ganja itu terhadap tubuh.
https://sains.kompas.com/read/2019/10/04/173300623/kasus-rifat-umar-kenali-karakteristik-dan-zat-adiktif-pada-ganja