Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Belajar Mengelola Lahan Gambut dari Suku Dayak

KOMPAS.com - Suku Dayak di Kalimantan memiliki cara mengelola lahan gambut yang patut ditiru. Mereka bisa menjaga, mengelola, sekaligus memanfaatkan lahan gambut dengan bijaksana.

Hal itu disampaikan oleh Deputi Bidang Konstruksi, Operasi dan Pemeliharaan, Badan Restorasi Gambut (BRG), Dr Alue Dolohong. 

"Jadi gini, masyarakat itu sebenarnya punya kearifan lokal. Dulu ya mereka (Dayak) mengelola lahan gambut khususnya di tanggul sungai. Dari tanggulnya sampai belakang sungai," kata Alue dalam acara Strategi Preventif dalam Mengatasi Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Indonesia, di Fakultas Kedokteran UI, Selasa (1/10/2019).

Gambut yang tipis

Area lahan gambut yang berada di tanggul sampai belakang sungai itu, kata Alue, masih termasuk lahan gambut dengan karakteristik tipis atau tidak dalam.

"Biasanya kalau di Kalimantan Tengah itu, di belakang sungai ini sampe dua tiga kilometer sampai empat kilometer gitu, kan habis (lebih dari) itu lahan gambutnya dalam," ujarnya.

Masyarakat Dayak menanami lahan gambut yang tipis ini. Mereka percaya, selain bagus untuk hasil panen, juga tidak merusak lahan karena zat beracun di bawah lahan gambut.

"Mereka (masyarakat Dayak) itu tahu, kalau mereka garap lahan tidak sampai dalam, makanya lahan padi mereka subur. Karena tahu kalo terlalu dalam malah tidak bagus untuk bertani mereka, malah bisa jadi gagal panen," tutur Alue.

Tetapi hal inilah yang menjadi salah kaprah oleh pemerintah, terlihat dari kebijakan membuka lahan 1.000 hektar lahan gambut.

Karena menurut Alue, yang dilihat hanyalah kesuburan padi yang ditanam masyarakat di sekitar gambut dari permukaan saja tanpa tahu bagaimana prosedur yang dilakukan oleh masyarakat setempat itu.

Seharusnya kebijakan membuka lahan gambut itu harus diikuti sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat yang akan mengelolanya.

"Nah salahnya waktu itu, salah satu kesalahan besar itu, mungkin waktu pemantau cuma melihat, sawah mereka subur gitu kan, padahal cuma 2-3 kilometer tadi ya. Lalu dia (pemantau) bilang gambut itu bagus. Ini kalau sampe satu juta hektar di belakang sana, bahkan 4-6 atau 10 kilometer ke belakang sana sudah bukan gambut tipis lagi," ucapnya.

Mengapa demikian? Sumber nutrisi gambut adalah curah hujan dan aliran sungai. Aliran sungai menjadi alat alami yang akan membawa unsur hara yang dibutuhkan lahan.

Semetara pada lahan gambut yang tipis atau dekat dengan tanggul sungai, akan lebih cepat mendapatkan unsur hara sehingga lebih subur dibandingkan yang berjarak lebih dari tiga kilometer. Unsur haranya akan semakin berkurang. 

Parit tidak dalam

Selain memilah lahan gambut yang tipis dan dekat dengan tanggul sungai, hal selanjutnya yang harus diperhatikan oleh pengelola lahan seperti yang dilakukan suku Dayak yaitu membuat parit yang tidak begitu dalam.

"Mereka membangun yang namanya handil atau parit lah.  Paling tiga atau empat kilometer gitu ya panjangnya, dan lebarnya paling 1,6 meter atau paling lebar dua meter," tuturnya.

Karena di bawah lapisan biasanya ada racun untuk tanaman jika dibuat terlalu dalam. Racun inilah yang akan merusak lahan termasuk tanaman yang dikelola.

Tanpa bakar lahan

Masyarakat Dayak tidak mengelola lahan pertanian di atas lahan gambut dengan membakar. Karena mereka hanya menggunakan lahan gambut tipis, perlakuan untuk mengelola lahan tanam hanya perlu dengan membajak secara alami.

Selain itu, sistem lahan berpindah juga dilakukan untuk membuat lahan gambut yang telah diolah kembali pulih secara alami.

"Yang mereka perlu ya mengelola lahan yang tipis, jadi gak pake bakar lahan atau pakai alat-alat perusak. Juga kalau habis panen, mereka biarkan lahannya kembali revegetasi alami, baru nanti digunakan lagi setelah menanam tempat lain dulu," ucapnya.

https://sains.kompas.com/read/2019/10/03/122228723/belajar-mengelola-lahan-gambut-dari-suku-dayak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke