KOMPAS.com – Jika Anda seorang wanita dan merupakan perokok aktif, memiliki riwayat hipertensi (darah tinggi), dan berusia di atas 40 tahun, saatnya waspada. Anda dihantui sebuah penyakit bernama aneurisma.
Aneurisma adalah pelebaran dinding pembuluh darah akibat lemahnya struktur dinding tersebut. Aneurisma umumnya terjadi pada pembuluh darah (arteri otak, arteri jantung, aorta, arteri poplitea, dan sebagainya). Ukurannya sangat kecil, masih dalam hitungan milimeter.
“Aunerisma ini silent killer. Terkadang tidak memiliki gejala. Aneurisma juga terjadi karena adanya kelainan bawaan dan faktor genetik,” tutur Dokter Spesialis Saraf RS Pondok Indah, dr Rubiana Nurhayati, Sp.S dalam acara di Jakarta Selatan, Selasa (24/9/2019).
Wanita lebih berpotensi terkena aneurisma karena pada usia 40 tahun, hormon esterogen yang beredar dalam tubuh berkurang. Meski begitu, bukan berarti tak mungkin aneurisma juga menyerang pria.
“Hormon ini salah satu fungsinya adalah melindungi pembuluh darah,” tutur dr Rubiana.
Seperti apa rupa aneurisma? dr Rubiana menjelaskan, aneurisma berbentuk seperti balon yang pada dinding pembuluh darah.
“Pembuluh darah, saat dilewati darah bertekanan tinggi, dindingnya seperti melebar kemudian membentuk seperti balon berukuran tipis. Itulah aneurisma. Yang paling bahaya adalah ketika aneurisma tersebut pecah. Darah akan mengalir ke luar, mengisi rongga badan,” jelasnya.
Gejala Aneurisma
dr Rubiana mengatakan terdapat beberapa gejala jika aneurisma belum pecah.
“Pertama, sakit kepala berulang. Sakitnya seperti nyut-nyut-an dan di bagian yang sama. Ini karena aneurisma memang terdapat pada pembuluh darah,” tuturnya.
Gejala kedua, jika aneurisma belum pecah, adalah rasa baal dan kesemutan pada satu sisi tubuh yang hilang timbul.
“Kalau aneurisma sudah pecah, akan terjadi sakit kepala hebat dilanjutkan dengan muntah dan penurunan kesadaran. Kemudian bisa jadi kelumpuhan satu sisi tubuh, kelumpuhan syaraf kranialis seperti mulut mencong, kejang, sampai koma,” tambahnya.
Dokter Spesialis Bedah Saraf RS Pondok Indah, Dr dr Mardjono Tjahjadi, Sp. BS, Ph.D, mengatakan salah satu bagian tubuh yang paling bahaya saat terkena aneurisma adalah otak.
“Jika aneurisma di otak sudah pecah, darah akan mengalir memenuhi rongga otak. Itu yang paling bahaya,” tutur dokter yang kerap dipanggil dr Joy itu.
Oleh karena itu, dr Joy menekankan, aneurisma sebaiknya disumbat sebelum pecah. Ini karena risiko kecacatan dan kematian yang tinggi setelah pecah.
“Selain itu biaya perawatan setelah aneurisma pecah sangat tinggi. Anda harus dirawat di ICU minimal 14 hari. Jika aneurisma dicegah atau ditangani sebelum pecah, prosedurnya operasi kemudian istirahat selama 3-4 hari saja,” paparnya.
Metode Penanganan
Jika Anda memiliki faktor risiko aneurisma otak terutama soal rokok dan dan riwayat hipertensi, ada baiknya melakukan brain check-up.
“Opsi pertama adalah CT-scan kepala. Namun terkadang jika aneurisma sangat kecil, seringkali tidak terlihat. Dengan begitu opsi selanjutnya adalah MRI atau MRA otak,” tutur dr Rubiana.
Tahapan selanjutnya adalah CT-scan angiografi kepala, untuk melihat lebih jelas tiap pembuluh darah. Tahapan yang paling efektif dan komprehensif, menurut dr Rubiana, adalah DSA.
“Presentase terlihatnya aneurisma lewat DSA mencapai 99 persen. Caranya adalah membuat sedikti sayatan di paha, memasukkan kawat sampai otak, kemudian melihat kondisi aneurisma tersebut,” tutur dr Rubiana.
Metode Pengobatan
Jika hasil check-up menunjukkan bahwa terdapat aneurisma pada pembuluh darah di otak, langkah selanjutnya adalah menentukan metode pengobatan.
dr Joy menyebutkan, ada dua metode yang kerap digunakan untuk mengobati aneurisma. Pertama adalah metode operasi clipping, kedua adalah koil atau katerisasi.
“Metode surgical clipping sudah ada sejak tahun 1965. Jadi tengkorak kepala dibuka sekitar 3-5 cm, kemudian aneurisma dijepit menggunakan klip berukuran sangat kecil,” tuturnya.
Opsi kedua adalah katerisasi. Kawat dimasukkan ke dalam pembuluh otak, kemudian balon aneurisma “disumpal” menggunakan kawat tersebut.
“Balonnya (aneurisme) disumbat sampai pendarahannya berhenti,” lanjutnya.
Metode surgical clipping memiliki presentase keberhasilan sampai 90 persen dan tidak usah melakukan operasi lagi setelahnya. Hal ini, menurut dr Joy, berbeda dengan metode katerisasi.
“Jika pakai katerisasi, sekitar lima tahun kemudian sumbatan bisa saja bocor lagi,” tambahnya.
Dari segi biaya, metode surgical clipping juga lebih ekonomis dibanding katerisasi.
“Namun sebelum terlambat, ada baiknya melakukan check-up apabila terdapat faktor risiko pada diri Anda. Sebelum terlambat,” tutupnya.
https://sains.kompas.com/read/2019/09/24/200400523/anda-wanita-dan-perokok-waspadai-aneurisma-pada-otak