Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Riau Dikepung Kabut Asap, Greenpeace Nilai Situasi Mirip Karhutla 2015

Beberapa daerah yang diselimuti kabut asap itu antara lain Kepulauan Riau, Jambi, Palembang, Banjarmasin, Palangkaraya, hingga negeri tetangga Malaysia.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Rusmadya Maharuddin berkata, kabut asap di Riau dan Kalimantan sebenarnya sudah terdeteksi sejak Januari 2019.

"Kalau tidak salah sejak Januari 2019 sudah terdeteksi kebakaran hutan di Riau," ungkap Rusmadya dihubungi Kompas.com, Senin (16/9/2019).

Disebutkan Walhi dalam berita sebelumnya, kebakaran hutan dan lahan pada 2015 tercatat ada lebih dari 48.000 titik panas.

Dalam hal ini, Rusmadya menerangkan, jika kodisi karhutla pada 2019 dibiarkan terus menerus dan tidak ada solusi, maka fenomena karhutla 2015 bisa terjadi kembali.

"Kita lihat di Riau, Kalimantan, dan berbagai wilayah lain kan asap sudah pekat dan status sudah berbahaya, kemudian beberapa kegiatan seperti penerbangan juga sudah tidak bisa lagi ada aktivitas. Ini artinya, situasi ini sudah seperti pada saat situasi (karhutla) 2015 lalu," ungkap Rusmadya.

Bencana karhutla pun disebut Rusmadya sebagai topik pembicaraan yang selalu ada setiap tahun.

Berbeda dengan bencana alam seperti gempa, banjir, atau tanah longsor yang muncul karena fenomena alam, Rusmadya mengingatkan, karhutla adalah bencana yang disebabkan oleh manusia.

"Ini berkaitan dengan perilaku (manusia). Artinya, kita ingin katakan bahwa harus ada perubahan perilaku," ungkapnya.

Rusmadya mengatakan, salah satu cara untuk melakukan perubahan perilaku adalah dengan penegakan hukum yang dilakukan secara serius, konsisten, dan terbuka.

Dia melihat, proses hukum untuk penanganan karhutla sejak 2015 hingga saat ini, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Soal penegakan hukum yang tidak sungguh-sungguh, Rusmadya juga menyoroti hal yang sama seperti Walhi, yakni kemenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas perusahaan perusak lingkungan (inkrah) dengan nilai Rp 18,3 triliun yang belum dibayarkan hingga saat ini.

"Jadi pengawasan dan penegakan hukum, menurut kita itu menjadi insturmen yang bisa mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang berulang," tegas dia.

"Karena itu tadi, ketika kita sepakat karhutla disebabkan oleh manusia, di mana terkait habit atau perilaku (manusia), maka harus ada efek jera untuk itu," sambungnya.

Selain butuh perubahan perilaku, Rusmadya juga mengatakan upaya yang dilakukan pemerintah sejak dahulu hingga saat ini selalu sama.

Mulai dari penurunan tim ke lapangan untuk melakukan pemadaman hingga modifikasi cuaca, menurut Rusmadya pada akhirnya tidak bisa menghentikan penghentian asap dan peristiwa seperti ini terus berulang setiap tahun.

"Karena kejadian ini sudah luar biasa, penanganannya juga harus luar biasa,"ungkap Rusmadya.

Pemerintah lamban

Selain pencegahan dan solusi yang kurang tegas dan kurang efisien seperti disebutkan di atas, Rusmadya juga menyebut pemerintah lamban dalam menetapkan karhutla 2019 sebagai bencana nasional.

Padahal beberapa dampak dari karhutla ini sudah sangat jelas.

Tidak hanya karhutla terjadi setiap tahun, tapi kondisi ini sudah melanda banyak wilayah di Indonesia, statusnya sangat membahayakan masyarakat, sistem transportasi terganggu, hingga korban karhutla sudah mulai berjatuhan.

Dari indikator di atas, Rusmadya mengatakan karhutla 2019 semestinya sudah ditetapkan sebagai bencana nasional.

"Kalau untuk jangka pendek itu kan ISPA. Efek jangka panjangnya adalah kanker paru," ungkapnya.

Rusmadya bercerita, dia sempat berbincang dengan salah satu dokter paru di Kalimantan Tengah. Dalam sesi diskusi tentang karhutla, dokter paru ini menceritakan bahwa pasien kanker paru yang menemui dokter paru tersebut bertambah.

"Jadi kanker paru ini bisa muncul beberapa tahun setelah kebakaran hutan. Dari 2015 sampai 2019 ini, pasien yang terindikasi kanker paru bertambah, walaupun beliau belum punya data tapi pasien yang datang bertambah banyak," katanya.

Dari hal tersebut, Rusmadya melihat bahwa tidak menutup kemungkinan di masa depan ada lebih banyak pasien kanker paru dari Indonesia gara-gara karhutla yang terus terjadi setiap tahun.

"Ini yang sangat dikhawatirkan, belum lagi persoalan pertumbuhan anak terganggu," pungkas dia.

Solusi

Untuk mengatasi masalah ini, Rusmadya melihat bahwa pemerintah harus menyiapkan dan menyediakan sarana prasarana ruang publik yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mendapat udara bersih.

Jika ada sarana prasarana seperti ini, diharapkan masyarakat memiliki tempat untuk mengevakuasi diri di fasilitas yang disediakan tersebut.

Ini penting agar dampak kesehatan karena asap pekat dari kebakaran hutan dapat berkurang.

Sementara itu, menurut Rusmadya, imbauan pemerintah untuk melarang kelompok rentan (ibu hamil, bayi, balita, hingga lansia) untuk keluar rumah selama terjadi karhutla adalah imbauan yang sangat standar.

"Yang paling penting sebenarnya bukan itu. Tapi bagaimana menjawab dan menangani masalah ini," kata dia.

Hal itu bisa dilakukan dengan pengobatan gratis, atau mendirikan rumah sakit khusus paru, juga menyediakan fasilitas agar masyarakat dapat menghirup udara bersih.

Pasalnya, masyarakat terdampak tidak hanya merasakan efeknya saat ini, tapi sampai beberapa tahun yang akan datang.

Persoalan inilah yang harus ditangani dan menjadi tanggung jawab pemerintah, menurut Rusmadya.

https://sains.kompas.com/read/2019/09/16/163200323/riau-dikepung-kabut-asap-greenpeace-nilai-situasi-mirip-karhutla-2015

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke