Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kabut Asap Riau, Walhi Minta Pemerintah Terbuka atas Lahan Konsesi

Beberapa daerah yang diselimuti kabut asap antara lain Kepulauan Riau, Jambi, Palembang, Banjarmasin, Palangkaraya, hingga negeri tetangga Malaysia.

Dalam pemberitaan Kompas.com, kabut asap pekat sangat tidak sehat dan berdampak signifikan terhadap kesehatan makhluk hidup, terutama karena meningkatkan penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Ini baru dampak jangka pendek. Dampak jangka panjangnya, masyarakat terdampak sangat mungkin mengalami kanker paru.

Selain dampak kesehatan yang sangat memprihatinkan, jarak pandang yang sangat pendek membuat puluhan jadwal penerbangan dibatalkan.

Namun perlu menjadi perhatian bersama, fenomena karhutla dan kabut asap tahun ini bukan yang pertama terjadi.

Setiap tahun, Indonesia khususnya daerah seperti Riau dan Kalimantan mengirup udara tidak sehat karena karhutla.

Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Wahyu A. Pradana mengkritisi, pemerintah masih lamban dalam menetapkan fenomena karhutla dan kabut asap 2019 sebagai bencana nasional. Pemerintah justru selalu berkata bahwa penanganan karhutla 2019 sudah lebih baik dibanding 2015.

Wahyu menjelaskan, pada 2015 memang ada lebih dari 48.000 titik panas kebakaran hutan dan lahan.

Namun yang perlu diingat, dari 2017 ke 2018, ada kenaikan dari 4.000 titik panas menjadi sekitar 8.000 titik panas. Kemudian dari 2018 sampai awal September 2019, total ada 19.000 titik panas.

"Nah, jika pembandingnya 2015 ya tidak make sense. Terlebih ada peningkatan yang signifikan setiap tahun," ungkap Wahyu dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Senin (16/9/2019).

Untuk itu, hal pertama dan paling utama untuk mengatasi masalah ini menurut Wahyu adalah pemerintah secara terbuka memberikan informasi kepada masyarakat dari mana karhutla berasal.

Hal ini dirasa Wahyu sangat penting, sebab, sikap tersebut secara tidak langsung bakal berdampak pada pengambilan kebijakan atas penetapan status daruratnya.

"(Pemerintah) berkali-kali bilang (yang terbakar) ladang masyarakat. Padahal fakta yang disegel bukan, kan enggak make sense," kata Wahyu dihubungi Kompas.com, Senin (16/9/2019).

Wahyu berharap pemerintah untuk membuka data lahan konsesi yang terbakar untuk bisa menjadi informasi publik. Terlebih hal ini secara hukum juga sudah termuat dalam putusan Mahkamah Agung.

"Kedua, tidak terbukanya (data) lahan konsesi yang terbakar, padahal itu (data) sangat mungkin dibuka, itu akan berdampak pada penegakan hukum," ungkap Wahyu.

Selain berdampak pada penegakan hukum, transparansi data juga akan berdampak pada penganggaran dalam konteks darurat.

"Penyelesaian kerugian lingkungan hidup dan biaya pemulihan lingkungan hidup harusnya diberatkan pada korporasi. Karena kita mengenal norma pertanggungjawaban mutlak dalam Undang Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, di mana pemegang konsesi bertanggung jawab penuh," jelas Wahyu.

"Ketidaktegasan pemerintah dalam konsesi, menurut kami, salah satu indikatornya adalah dari 2015 hingga 2018, deposit kemenangan KLHK terhadap beberapa korporasi mencapai Rp 18 triliun, kurang lebih. Tapi sampai sekarang, kami belum mendengar kabar sepeser pun dibayar oleh korporasi. Tidak ada upaya paksa negara untuk melakukan itu," ungkap Wahyu.

Berdasarkan olahan data WALHI, hingga awal pekan September 2019 tercatat ada lebih dari 3.500 titik panas berada di lahan konsesi. Bila dihitung luasan gambut, setidaknya ada sekitar 8.000 titik panas, kata Wahyu.

"Dari tanggal 8 sampai 12 September saja ada lebih dari 7.000 titik panas (berdasar data WALHI), dan mungkin akan terus bertambah," imbuh Wahyu.

Untuk diketahui, lahan konsesi merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada lahan negara yang disewakan ke badan usaha atau orang.

https://sains.kompas.com/read/2019/09/16/134641223/kabut-asap-riau-walhi-minta-pemerintah-terbuka-atas-lahan-konsesi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke