Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ada Kusta di Antara Kita...

“APA yang kita tahu soal kusta ini?”

Pertanyaan biasa di ruang rapat yang juga biasa menjadi lokasi beragam fenomena dibedah bersama. Namun, satu pertanyaan ini berjawab hening.

“Itu, yang penderitanya bisa kehilangan jari, kaki, atau tangan.” Meluncur satu jawaban. Yang lain mengangguk-angguk. Lalu senyap lagi.

“Kusta dan lepra itu sama atau enggak?” Ruangan kembali senyap.

Penggalan fragmen di atas terjadi ketika topik lepra terpilih menjadi bahan garapan liputan bersama harian Kompas, Kompas.com, Kompas TV, dan Kontan (4K).

Kusta adalah tema ketiga garapan Voice for Voiceless, inisiatif bersama empat media bersaudara ini untuk menyuarakan mereka yang tak bersuara.

Ketidaktahuan dan mitos

Ketidaktahuan. Satu kata ini langsung menggumpal sebagai sebuah kesadaran di ruang rapat itu.

Faktanya, Indonesia adalah negara dengan penderita kusta terbanyak ketiga di dunia, setelah India dan Brasil.

Meski tidak merata menjadi prevalensi nasional, angka kasusnya di daerah masih melebihi 1 berbanding 10.000 kejadian. Artinya, di sejumlah wilayah, di antara 10.000 penduduk selalu ada setidaknya satu penderita kusta.

Lalu, mengapa kita tidak banyak tahu soal penyakit ini?

Ada beragam mitos menyelubungi penyakit ini. Ada yang menyebutnya kutukan, penyakit orang miskin, menjijikkan, dan seterusnya.

Apakah benar begitu?

Wawancara khusus Kompas.com dengan Ketua Kelompok Studi Morbus Hansen (Kusta), Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (Perdoski) Indonesia, Dr. dr. Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, SpKK(K), menjungkirbalikkan semua informasi yang selama ini simpang siur.

Misal, angka kasus yang terkini di kisaran 15.000 penderita di Indonesia, bisa jadi hanya permukaan gunung es.

Mengapa? Banyak gejala tak disadari baik oleh penderita maupun tenaga medis—apalagi orang awam seperti kita—sehingga terlambat ditangani.

Padahal, kecacatan karena kusta sebenarnya bisa dicegah. Obat untuk mengobati tuntas penyakit ini pun tersedia gratis.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sampai menyatakan bahwa kusta adalah penyakit tropis yang terabaikan, karena semua fenomena ini.

Stigma dan diskriminasi

Cerita tak berhenti di situ. Mereka yang pernah menderita kusta menjalani pedihnya stigma dan diskriminasi dalam waktu bersamaan, bahkan tak berkesudahan.

Untuk mengujinya, bisa ditanyakan ke diri kita masing-masing sejumlah pertanyaan seperti berikut ini:

“Maukah kita mempekerjakan mantan penderita kusta?”, “Maukah kita menyantap makanan dan atau minuman yang disajikan penderita kusta?”, atau “Maukah kita tinggal bertetangga apalagi seatap dengan penderita kusta?”.

Seorang kawan yang pernah meliput bidang kesehatan bercerita, pada suatu ketika serombongan wartawan meliput kampung kusta bersama Menteri Kesehatan dan jajarannya.

Dari sana, mereka membeli buah potong yang dijual salah satu mantan penderita kusta.

Apa yang terjadi? Tak banyak yang mau memakannya.

“Padahal itu orang-orang yang baru saja mendapatkan edukasi tentang kusta, orang-orang yang tahu ilmu kesehatan,” tutur kawan itu.

Cerita lebih baru datang dari kawan yang lain. Saat meliput untuk garapan kali ini, rombongannya disuguhi minuman kopi oleh tuan rumah yang adalah mantan penderita kusta.

Apa yang terjadi?

“Waduh, ada yang pakai alasan tidak minum kopi. Saya tetap minum karena tidak mau membuat dia (tuan rumah) tersinggung,” ujar dia.

Cerita-cerita semacam ini bertebaran. Bahkan orang-orang yang mau membantu para penderita kusta pun berpikir panjang untuk mempekerjakan para mantan penderita kusta di rumah.

“Dulu ada tetangga yang mantan penderita kusta. Kami langsung protes ke mama, jangan aneh-aneh deh, ketika mama hendak mempekerjakannya mencuci di rumah,” aku seorang kawan yang lain lagi.

Solusi yang diambil saat itu, lalu menjadi kebiasaan selama bertahun-tahun, keluarga kawan ini menyisihkan sebagian penghasilan mereka untuk rutin membantu sang tetangga.

Padahal, para mantan penderita kusta ini tidak juga mau bergantung tanpa usaha untuk menopang hidupnya. Mereka juga ingin mandiri dan berdaya. Kesempatannya yang tak banyak tersedia.

Bantu mereka berdaya

Kalaupun ada kesempatan untuk berdaya bagi para penderita kusta, banyak dari mereka yang tak mau lagi dikaitkan dengan penyakit yang pernah diderita.

Pernah terjadi. Ekspose media dengan tujuan baik tentang upaya mereka memberdayakan diri, justru berbalik dengan order pekerjaan yang langsung anjlok.

Betul, sudah ada banyak mantan penderita kusta yang dengan upayanya sendiri membuktikan diri mampu bangkit dan berdaya tanpa mengandalkan belas kasihan orang.

Ada pula uluran tangan orang-orang baik yang memperlebar jalan bagi para mantan penderita kusta ini berdaya.

Pertanyaan dan tantangan untuk kita semua, maukah kita setidaknya menyingkirkan stigma dan tak mendiskriminasi para mantan penderita kusta ini, kalaupun tak bisa turun tangan membantu secara nyata?

Untuk membantu menjawab semua pertanyaan dari awal tulisan inilah Kompas.com menyusun liputan khusus “Ada Kusta di Antara Kita”.

Informasi seputar kusta, dari penyebab, cara penyebaran, cara pencegahan, cara mengenali gejala awal, hingga pengobatan yang bisa dilakukan, akan tersaji di dalamnya.

Bersamanya akan ada pula tulisan mengenai kisah para mantan penderita kusta, baik yang masih terpuruk maupun yang telah berdaya.

Semuanya akan hadir dalam rupa hardnews, ficer, dan longform JEO, yang tayang di Kompas.com mulai Senin (9/9/2019).

Artikel-artikel yang pernah tayang di Kompas.com terkait topik kusta akan melengkapi sajian informasi.

Bersamaan, tema ini akan diangkat pula di harian Kompas dan Kontan mulai hari yang sama.

Adapun Kompas TV akan menayangkan edisi khusus terkait kusta ini pada program Berkas Kompas edisi Selasa (10/9/2019) malam. 

https://sains.kompas.com/read/2019/09/09/061634723/ada-kusta-di-antara-kita

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke