Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Maria Clara Yubilea, Berencana S2 di Amerika demi Pendidikan Gifted Indonesia (Bagian III)

Karena Lala menaruh bakat pada seni dan bahasa, dia ikut berbagai macam kursus.

Mulai dari seni tari, seni musik, gambar, kursus bahasa Perancis, bahasa Jerman, mencoba otodidak bahasa Korea, Rusia, Italia, Belanda, Jepang, hingga Thailand.

Bagi Lala, belajar bahasa baru adalah sebuah hobi menyenangkan.

"Dalam bahasa pasti kan ada budaya yang kita pelajari. Dan saat belajar budaya baru, pikiran kita kan enggak jadi sempit," jelas gadis yang menguasai empat bahasa itu.

Saat Lala sudah mendapat ijazah dari Ujian Kejar Paket C (Setara SMA) di usia 15 tahun, Lala tiba-tiba mengatakan ingin berkuliah.

"Kami kemudian berpikir. Ada baiknya memang dia kuliah. Saran dari hasil tes IQ, mengambil jurusan bahasa. Akhirnya diambillah bahasa yang belum ia kuasai, yaitu Pendidikan Bahasa Jerman," ungkap Patricia Lestari Taslim, Ibu Lala dijumpai di kediamannya.

Lala merupakan mahasiswa termuda di angkatannya. Dia masuk kuliah di usia 15 tahun lebih 3 bulan dan lulus paling muda dengan usia 19 tahun lebih 3 bulan.

Selama perkuliahan, dosen dan teman-teman Lala sangat memberi dukungan dalam belajar. Bahkan, Lala kerap dijadikan rebutan apabila terdapat tugas kelompok.

"Jadi lingkungan di UNY inklusif. Ada dua alasan sebenarnya. Pertama karena Lala masih imut, anak usia 15 tahun, dan kedua karena Lala cepat belajarnya. Setahun belajar Jerman, dia sudah fasih," kenang Patricia.

Untuk mendukung kegiatan belajar putrinya, Patricia sejak awal perkuliahan selalu mengantar jemput Lala yang masih di bawah umur.

Ibu ikut kuliah agar lebih memahami ABK

Selain aktif di komunitas, Patricia juga ikut mengambil S2 Pendidikan Luar Biasa UNY angkatan 2016, atau setahun setelah Lala masuk kuliah.

Namun setahun berjalan, Patricia merasa bosan jika hanya datang ke UNY untuk antar jemput. Terlebih lagi, kebutuhan khusus Lala terus berkembang seiring bertambahnya usia.

"Saya merasa tidak cukup bekal untuk membantu (Lala). Sudah bikin sakit kepala ini. Sehingga seizin suami saya ingin kuliah lagi, agar punya ilmu yang bermanfaat dalam mendidik Lala ataupun anak-anak gifted lainnya," ungkap Patricia atas pergolakan batin yang terjadi saat itu.

Akhirnya setahun setelah Lala mulai kuliah, Patricia mendaftar dan diterima di S2 Pendidikan Luar Biasa UNY angkatan 2016. Pada saat itu, Patricia merupakan satu-satunya mahasiswa yang tidak berlatar belakang pendidikan luar biasa di jenjang S1 nya.

"Saya guru seni musik. Lainnya teman saya, guru di SLB, dan anak-anak lulusan PLB. Alih jurusan bukan hal yang mudah ternyata karena saya belajar teori dari awal," kenang Patricia.

Perjalanan Patricia menempuh studi tidak mudah.

Beberapa kolega menjadikannya bahan bercanda karena hendak menjadikan putrinya sebagai kelinci percobaan atas teori Pendidikan Luar Biasa yang diperolehnya di dalam ruang kuliah.

Patricia tak bergeming dengan tudingan tersebut.

Untuk mendukung studinya, Patricia juga harus mengejar ketertinggalan ilmu dengan menumpang belajar di SLB Marganingsih Tajem.

Di sana ia memperoleh teori terkait pendidikan luar biasa sekaligus mempraktikkannya secara langsung.

"Setiap kamis dan Jumat saya kesana. Membantu mengajar, dan belajar teori-teori PLB. Tidak dibayar, karena saya yang membutuhkan," ungkap Patricia.

Patricia ingin terus mempelajari tentang gifted karena dia merasa banyak masyarakat belum memahami tentang kondisi spesial ini.

Seringkali gifted disamakan dengan autisme, padahal berbeda.

"Nampak sama, tapi berbeda," kata Patricia.

Dia memberi contoh, anak autisme memang suka melakukan hal berulang, sebagai contoh bertepuk tangan. Anak autisme bertepuk tangan karena memang mereka suka melakukan itu.

Namun ketika anak gifted terus menerus bertepuk tangan, sebenarnya dia sedang berpikir kenapa bertepuk tangan bisa menimbulkan bunyi, kenapa bunyinya bisa berbeda.

"Ekspresi wajah berbeda (autisme dan gifted). Anak gifted melakukan sesuatu karena rasa ingin tahunya," kata Patricia.

Kesibukan setelah kuliah

Anak semata wayang meraih gelar sarjana, disebut Boy dan Patricia baru awal mula dari perjalanan panjang.

"Kita harus bisa menggali potensi anak dan jangan memaksakan kehendak. Untuk anak-anak gifted tidak bisa dipaksa, kita harus dapat memberikan mereka penjelasan secara logis," ujar Patricia.

"Didik anak dengan sepenuh hati. Jangan membanding-bandingkan karena setiap anak unik. Semua memiliki potensi masing-masing yang harus diasah demi masa depan anak yang terbaik sesuai dg passion anak," ujar Patricia saat dihubungi Kompas.com (3/9/2019).

Patricia juga menyampaikan anak berkebutuhan khusus membutuhan sistem pendidikan yang memahami dan mendukung mereka berkembang.

"Jangan paksa mereka untuk memahami sistem," pesan Patricia.

Skripsi dan tesis tak menjadi karya terakhir Patricia dan Lala di UNY.

Selepas kuliah, Lala berencana melamar beasiswa untuk pendidikan khusus gifted di universitas Amerika Serikat.

"Aku lagi jadi pemburu beasiswa. Rencananya mau ke Amerika, mau ambil gifted education," kata Lala sambil tertawa saat dijumpai di rumahnya, Senin (4/9/2019).

Lala sebenarnya memiliki beberapa pertimbangan hingga akhirnya memutuskan untuk mengambil pendidikan gifted.

"Awalnya memang belum mempertimbangkan ke sana. Awalnya masih mau Hubungan Internasional atau Komunikasi. Nah, tapi pas lihat berita-berita 'ih apa sih ini kebijakan kok gini banget'," ujar Lala bersemangat.

Lala bercita-cita, selepas lulus S2 nanti dia akan kembali ke Indonesia dan melakukan sesuatu yang nyata untuk negeri ini.

Terlebih, Lala selalu ingat pesan ibunya untuk bisa melakukan sesuatu untuk Indonesia, bukan hanya mengomentari setiap kebijakan yang dinilainya tidak pas.

Selain itu, Lala melihat jalan hidup yang digariskan Tuhan mengarah pada pendidikan.

"Pertimbangan lain, dunia pendidikan itu luas. Dan pendidikan untuk gifted di Indonesia memang sudah ada, tapi tokoh gifted dari Indonesia sudah seumuran mami. Berarti kan belum ada regenerasi, berarti bisa jadi peluang," kata dia tersenyum.

"Lalu dengan generasi 4.0 kan memang ada beberapa skill yang berkembang dan agak tersingkir, tapi pendidikan tidak akan pernah hilang dalam hal ini. Jadi aku pikir, aku cukup baik di dalam pendidikan dan kalau masalah teknologi bisa sambil belajar juga kan," imbuh dia.

Akhir bulan ini, Lala bersama Patricia serta komunitas orangtua anak gifted di Yogyakarta bakal merilis buku bunga rampai "Menyongsong Pagi".

Buku ini memuat best practice langsung pengalaman orangtua dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus.

Lala menjadi satu-satunya anak gifted yang ikut menulis buku tersebut, sekaligus sebagai penulis termuda.

"Ada dosen PLB UNY yang juga ikut menulis. Dalam kesempatan yang sama kita menggelar seminar bertema "Pendidikan Anak Gifted".

Melalui buku dan seminar tersebut, Patricia dan Lala berharap pengalaman sekaligus ilmu mereka terkait anak berkebutuhan khusus tidak hanya berhenti di diri mereka sendiri.

Buku ini diharapkan dapat membantu masyarakat luas agar pendidikan inklusi dapat dirasakan lebih banyak lagi manfaatnya. “Saya tahu, banyak orang tua di luar sana yang bingung anak berkebutuhan khusus ini diapakan. Tidak banyak yang seberuntung kami mengenal ilmu pendidikan luar biasa di UNY. Kami ingin ilmu ini membumi," tutup Patricia.

Untuk membaca kisah anak gifted berkebutuhan khusus bagian I, silakan klik link berikut.

Untuk membaca kisah anak gifted berkebutuhan khusus bagian II, silakan klik link berikut.

https://sains.kompas.com/read/2019/09/04/174539123/kisah-maria-clara-yubilea-berencana-s2-di-amerika-demi-pendidikan-gifted

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke