KOMPAS.com - Kenaikan biaya iuran BPJS oleh Kementerian Keuangan menjadi polemik baru yang hangat diperbincangkan masyarakat.
Mengutip pemberitaan Kompas.com pada (28/8/2019), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan untuk menaikkan besaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) BPJS Kesehatan.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, aturan mengenai kenaikan besaran iuran bakal dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres).
Peserta JKN kelas I yang tadinya hanya membayar Rp 80.000 per bulan harus membayar sebesar Rp 160.000. Kemudian untuk peserta JKN kelas II harus membayar iuran Rp 110.000 dari yang sebelumnya Rp 51.000. Sementara, peserta kelas mandiri III dinaikkan Rp 16.500 dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42.000 per peserta.
Lalu apakah tidak ada hal lain yang seharusnya bisa dijadikan alternatif untuk persoalan dana kesehatan di Indonesia ini?
Dr Ronald A Hukom MHSc SpPD-KHOM, seorang dokter spesialis hematologi dan onkologi, yang ditemui Kompas.com dalam acara "Tantangan dan Harapan: Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan Pasien Kanker Payudara HER2-Positif di Indonesia", Kamis (29/8/2019) memandang persoalan tersebut dari segi kesehatan.
Menurut dia, selain berpikir untuk menaikkan angka iuran BPJS, seharusnya juga harus mencari alternatif untuk menekan angka pengeluaran biaya kesehatan nasional.
Banyak persoalan dalam instansi yang menurut Ronald harus dibereskan dengan tuntas selain menaikkan pembiayaan.
Sebab, kalaupun dilihat dari skala keseluruhan, belum bisa atau bahkan tidak bisa kenaikan harga tersebut dibandingkan dengan jaminan atau tanggungan BPJS yang ada.
"Lalu, apakah kenaikan kali ini bisa tetap begini atau akan ada kemungkinan naik kembali, ya akan ada kemungkinan naik kembali jika alternatifnya hanya perihal ekonomi, dalam skala BPJS menanggung semua jaminan kesehatan masyarakat ini, tetapi standar pelayanan sendiri tidak efektif dan efisien," kata Ronald.
Dia lantas menjelaskan bahwa banyaknya prosedur di pusat pelayanan kesehatan seperti mencoba membatasi tindakan yang harusnya dilakukan, padahal pelayanan ke masyarakat secara nyata dituntut berkualitas.
Alhasil, tidak jarang dokter menjadi malas dengan betapa sistemisnya sistem birokrasi di pelayanan kesehatan. Dokter yang berkompeten seolah dibatasi dalam memutuskan tindakan jika tidak sesuai dengan SOP BPJS.
Sebaliknya, tidak sedikit prosedur yang justru mempersulit keadaan bahkan menambah biaya pengeluaran pusat pelayanan kesehatan tersebut.
"Ya benar, ada saja tindakan, misal yang tidak harus operasi, karena prosedur malah jadi disuruh operasi. Itu selain lebih tidak efektif juga tidak efisien, secara pengobatan juga secara keuangan," ujar Ronald.
Untuk mencari alternatif pembiayaan, selain pembenahan pelayanan kesehatan, Ronald berkata bahwa kita bisa mencontoh dari negara tetangga, seperti Singapura. Di sana, ada yang namanya cost sharing.
Dalam sistem ini, masyarakat akan berbagai pembayaran pengobatan bersama pemerintah. Jadi, jika ada peserta BPJS yang sakit, maka akan ada badan pengawas yang menelusuri berapa persen beban pengobatan yang bisa ditanggung pasien. Sisa biaya pengobatan kemudian akan ditanggung pemerintah.
Peserta juga bisa menyiapkan asuransi kedua non pemerintah, sehingga jika terjadi hal yang tidak diinginkan, masyarakat juga memiliki kesempatan untuk dibantu dari dana asuransi kedua yang dimiliki.
Manfaatnya, biaya pengobatan itu bisa diberlakukan tergantung dari kemampuan finansial orangnya. Jadi, pemerintah tidak menanggung seluruhnya dan menyebabkan defisit keuangan.
Masyarakat juga akan termotivasi untuk terbiasa hidup sehat atau menghindari sakit agar tidak ikut serta menanggung biaya bertahan hidup dalam sakit yang diderita.
"Menaikkan BPJS mah boleh saja, tetapi itu tidak menyelesaikan masalah," kata Ronald.
Di negara Indonesia, kata Ronald, yang jadi masalah utama yakni pengawasan yang tidak benar. Lalu, birokrat pemerintahan juga harus berpikir kreatif, sehingga lini di bawahnya akan membuat jalur atau standar prosedur yang terbaik untuk segala aspek terkait.
https://sains.kompas.com/read/2019/08/30/180700223/menyoal-kenaikan-iuran-bpjs-ini-kata-pelaku-pelayanan-kesehatan-