Dermatits Atopik (DA) merupakan penyakit kulit yang diturunkan secara herediter atau genetika, sehingga sifatnya hampir sama seperti diabetes yang tidak bisa disembuhkan melainkan hanya dikontrol agar tidak kambuh.
Selain faktor genetika atau keturunan, DA juga dapat dipicu berbagai faktor lainnya, seperti cuaca panas, perubahan cuaca, keringat, debu, daya tahan tubuh yang menurun, stres dan juga gigitan serangga.
Dermatitis atopik dapat membuat kulit meradang, gatal-gatal, kering dan pecah-pecah. Jika tidak segera ditangani, DA bahkan bisa menurunkan kualitas hidup penderitanya dan menyebabkan gejala penyerta lainnya, seperti bersin pada pagi hari, mata bengkak, dan keluhan asma.
Menurut dokter spesialis kulit senior, dr Ronny Handoko SpKK FINSDV FAADV, DA memiliki faktor risiko yang cukup signifikan pada manula (geriatri).
"DA pada geriatri (manula) umumnya lebih sulit ditangani dibandingkan DA pada dewasa, karena DA (pada manula) biasa diikuti oleh penyakit penyerta (tambahan) lainnya, makanya susah untuk diringankan," jelas Ronny.
Berikut adalah beberapa hal terkait yang dapat terjadi pada pengidap penyakit DA di usia geriatri.
Gejala penyerta DA
Salah satu hal yang tampak kasat mata bila seorang manula memiliki DA adalah adanya lingkaran di seputar mata.
"Pada umumnya orang bilang mata panda. Padahal, ini bisa jadi salah satu gejala penyerta dari DA," jelas Ronny.
Selain mata panda, kulit manula juga cenderung lebih kering meski setelah mandi sekalipun. Bahkan tidak sedikit yang mempunyai gejala penyerta atopic skin seperti kulit ayam.
Kemudian, gejala penyerta DA lain adalah bintik kasar pada lengan dan paha, serta bercak putik di wajah.
Namun Ronny menjelaskan, manula yang memiliki DA cenderung merasakan gatal berlebih daripada tampak gejala yang membekas.
DA pada manula tak hanya merusak kulit, tapi juga bisa memengaruhi organ lain termasuk gangguan ginjal, gangguan hati, hingga limfoma.
Limfoma adalah kanker yang muncul dalam sistem limfatik yang menghubungkan kelenjar limfe atau kelenjar getah bening di seluruh tubuh.
Pada prinsipnya, menurut Ronny, penderita DA pada usia geriatri akan merasakan gejala dan lokasi luka yang sama dengan penderita DA pada usia lebih muda.
Gejala utamanya berupa gatal kronis dengan variasi ringan sampai berat yang menimbulkan ruam dan dapat ditemukan di muka, leher, punggung, tungkai, dan lipatan lengan.
Risiko DA
Mengidap DA dapat memicu risiko masalah lain. Hal ini tergantung pada faktor risiko DA yang berpotensi.
1. Risiko terhadap penderita penyakit DA itu sendiri
Pada risiko ini dapat mengganggu kualitas hidup penderita DA, karena rasa gatal yang menyebabkan sulit tidur, dan juga terganggu saat melakukan aktivitas yang lainnya.
"Kalau gatal berlebihan karena DA, orang bisa dan harus milih tuh tempat kerjanya berdebu apa enggak, panas apa enggak. Itu kan mengganggu sekali," tutur Ronny.
Kondisi kulit penderita DA lebih rentan, oleh karena itu mudah terjangkit penyakit kulit lain dari infeksi virus, bakteri dan jamur.
"Hal yang begitu pasti sangat mengganggu kalau mau berinteraksi dengan orang lain di kehidupan sosialnya, karena selain rasa gatal dan tidak nyaman, bisa jadi bahkan ada yang merasa minder karena bekas luka kulit yang ditimbulkan DA".
2. Risiko pengobatan DA yang lama dan berulang
Karena penyakit DA bersifat kronis, maka pengobatan DA biasanya lama dan berulang, baik pada terapi Topikal maupun Oral.
Efek samping yang sering terjadi seperti penipisan kulit (atrofi kulit) akibat pemberian terapi kortikosteroid oral yang tidak dibawah pengawasan dokter spesialis kulit.
Selain itu, ada efek samping sistemik berupa timbulnya katarak prematur, diabetes mellitus, osteoporosis, hipertensi, glaukoma dan gangguan ginjal.
"Banyak efek yang bisa terjadi karena DA dan pakai obat tanpa pengawasan dokter atau beli sembarangan asal gatal dan kulit kering di kulitnya hilang. Padahal itu hilangnya sesaat tapi efek sampingnya jangka panjang," tegas Ronny.
3. Risiko penyakit penyerta pada DA
Bila pada penderita DA secara bersamaan memiliki penyakit penyerta (Co-morbilitas) baik berupa penyakit kulit seperti vitiligo, psosiaris atau penyakit autoimun lain, maka dalam hal ini dapat memperberat kondisi penyakit DA pasien atau penyerta yang ada.
Faktor pencetus DA
Selain faktor keturunan, banyak hal lain yang bisa memicu timbulnya DA pada tubuh, seperti udara atau cuaca panas, debu, keringat, bulu atau serbuk, terkena deterjen, memakai pakaian dari bahan polyester dan wool, makan makanan tertentu juga bisa.
Berikutnya, terlalu sering mandi (lebih dari tiga kali sehari), ataupun mandi dengan menggunakan suhu air terlalu panas, serta menggunakan sabun dengan PH alkali lebih dari 5,5, begitu juga penggunaan bahan plastik, karet dan logam bukan mulia.
Nah, ini stres emosional dan daya tahan tubuh menurun juga bisa menjadi pemicu DA ternyata. "Jangan salah, orang yang stres atau daya tahannya turun itu tingkat terkena DA-nya tinggi sekali".
Perawatan penderita DA
Dianjurkan oleh Ronny, penderita DA agar menghindari faktor pemicu timbulnya DA pada diri masing-masing.
"Hindarilah faktor pemicu kambuhnya DA pada kulit. Jangan disamakan semua faktor pemicu DA itu sama. Misal, DA saya bakal kambuh kalau kena serbuk kayu. Tapi anak saya kambuh kalau terhirup gypsum. Kan beda," ujar dia.
Berusahalah untuk memperbaiki sistem kekebalan tubuh dengan memberikan imunomodulator oral, asupan gizi, pemberian suplemen oral, serta perbaikan kondisi status mental penderita.
Pemberian terapi Oral dan Topikal dapat diberikan, tetapi usahakan dengan saran dokter.
"Kalau asal pake (obat terapi) risikonya besar. Soalnya penanganan DA itu beda kondisi, akan beda terapi dan takarannya, kalau enggak ya bakal tambah parah bukannya membaik,"imbuh Ronny.
https://sains.kompas.com/read/2019/08/19/170000423/alasan-dermatitis-atopik-pada-manula-lebih-sulit-disembuhkan