Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Asteroid OK yang Nyaris Tak Oke

PUNCAK hujan meteor Perseids sudah dilalui di awal minggu kedua bulan Agustus 2019 ini.

Meski langit malam tidaklah benar–benar gulita seiring bertahtanya Bulan yang menjelang purnama pada 12–13 Agustus 2019, laporan–laporan pengamatan yang dihimpun International Meteor Organization menyimpulkan bahwa pada puncaknya, hujan meteor periodik ini menghamburkan 100 meter per jam. Menjadikannya salah satu hujan meteor periodik yang cukup intensif.

Meteor–meteor tersebut umumnya berasal dari meteoroid dengan dimensi dalam orde mikrometer, singkatnya seukuran debu. Namun terdapat pula meteoroid yang lebih besar dari butiran pasir dan memasuki atmosfer menjadi meteor–terang (fireball).

Salah satu di antaranya sempat diabadikan tim Virtual Telescope, lembaga nirlaba yang fokus pada penelitian dan edukasi astronomi sejagat melalui dunia maya.

Meteoroid–meteoroid Perseids merupakan remah–remah komet Swift–Tuttle, sebuah komet periodik yang memiliki periode 133 tahun. Terakhir kali komet ini melintas di dekat Bumi pada 1992 silam dan takkan kembali lagi hingga seabad kelak, tepatnya pada tahun 2126.

Setiap kali komet Swift–Tuttle menuju ke perihelionnya, hembusan angin Matahari membuat butir–butir debu dan pasir di paras sang komet terlepas dan terserak di sepanjang lintasan yang baru saja dialuinya. Remah–remah inilah yang bakal menjadi hujan meteor manakala Bumi sedang melintas melaluinya.

Komet Swift–Tuttle adalah salah satu benda langit yang menarik perhatian dunia astronomi karena bakal kerap melintas dekat Bumi di masa depan. Itu menjadikannya salah satu benda langit berpotensi bahaya. Maksudnya memiliki peluang untuk menumbuk Bumi.

Dengan diameter 27 kilometer dan kecepatan 61 kilometer per detik, apabila komet Swift–Tuttle benar–benar menumbuk Bumi, maka akan tercipta bencana tak terperi melampaui peristiwa Tumbukan Kapur–Tersier yang menjadi biang punahnya dinosaurus dan 75 persen genus makhluk hidup Bumi sezaman pada 65 juta tahun silam.

Sebab, energi tumbukan komet Swift–Tuttle bakal 27 kali lipat lebih besar ketimbang Tumbukan Kapur–Tersier.

Masalah komet Swift–Tuttle adalah masalah masa depan. Sebaliknya dua minggu sebelum puncak hujan meteor Perseids 2019, hampir terjadi peristiwa tumbukan benda langit yang lain meski skalanya jauh lebih kecil.

Akan tetapi sudah cukup membuat sebagian astronom menahan napas. Karena meskipun skalanya jauh lebih kecil, andaikata peristiwa tersebut benar–benar terjadi dan menimpa sebuah kota metropolitan, semuanya bakal hancur berantakan.

Saya sedang bertekun dengan angka–angka posisi Bulan sebagai bagian dari bahan penyusunan usulan hari libur nasional 2021 manakala sebuah notifikasi masuk. Dan langsung membuat bulu kuduk meremang.

Sebuah asteroid dekat–Bumi yang baru saja ditemukan dan dilabeli asteroid 2019 OK oleh Minor Planet Center dari Perhimpunan Astronomi Internasional, diketahui melintas sangat dekat dengan Bumi kita pada Kamis 25 Juli 2019 pukul 08:22 WIB.

Asteroid 2019 OK yang relatif besar (diameter 75 meter) melintas dalam jarak hanya 65.000 km dari paras Bumi kita dengan kecepatan luar biasa, mencapai 88.500 km/jam. Ini merupakan jarak perlintasan terkecil sebuah asteroid dekat–Bumi yang pernah terjadi dalam kurun 300 tahun terakhir.

Bilamana asteroid 219 OK saat itu mengarah langsung ke Bumi maka energi yang diangkutnya mencapai 71 megaton TNT atau setara 5.000 butir bom nuklir Nagasaki. Energi sebesar itu diperoleh apabila komposisinya identik dengan meteorit kondritik (massa jenis 2,2 gram per sentimeter kubik).

Bila lintasannya membentuk sudut 30 derajat terhadap bidang datar paras Bumi, maka atmosfer Bumi akan mencoba menahannya namun hanya sanggup hingga ketinggian 5.000 mdpl saja.

Pada ketinggian inilah akan terjadi peristiwa airburst, seperti yang terjadi di atas kawasan Chelyabinsk (Russia) pada 13 Februari 2013 silam.

Hanya saja airburst dari asteroid 019 OK akan jauh lebih bertenaga, yakni mencapai 7,5 megaton TNT atau 12 kali lebih dahsyat ketimbang Peristiwa Chelyabinsk 2013. Dan tingkat energi airburst tersebut bakal setara dengan Peristiwa Tunguska yang terjadi 111 tahun silam.

Simulasi berbasis fisika peledakan senjata nuklir memperlihatkan, bilamana energi 7,5 megaton TNT dilepaskan pada ketinggian 5.000 mdpl maka area seluas 2.000 kilometer persegi akan rusak berat oleh hempasan gelombang kejut dengan dampak mekanik bermacam–macam. Area tersebut setara dengan tiga kali lipat luas DKI Jakarta.

Orang–orang yang kebetulan sedang berdiri di area ini bakal jatuh ke tanah akibat kuatnya gelombang kejut, dengan sebagian di antaranya bakal mengalami kerusakan gendang telinga hingga paru–paru.

Tak hanya itu, dalam area tersebut akan terbentuk sub–area seluas 1.500 kilometer persegi yang spontan terbakar akibat papasan sinar panas, terutama pada struktur bangunan yang terbuat dari kayu lapis.

Orang–orang yang kebetulan berada dalam sub–area ini akan mengalami luka bakar yang didominasi luka bakar tingkat tiga. Jenis luka bakar yang berpotensi fatal.

Dapat disimpulkan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh tumbukan asteroid seukuran 2019 OK dengan Bumi tidaklah dapat dianggap enteng. Ia dapat meremukkan sebuah metropolitan raya dengan mudah. Jelas asteroid OK sesungguhnya tidaklah oke untuk umat manusia.

Ada dua pelajaran berharga yang diperoleh dari kasus asteroid 2019 OK ini.

Pertama adalah betapa terbatasnya kemampuan deteksi benda langit (asteroid/komet) berpotensi bahaya pada saat ini.

Memang telah terbentuk sistem–sistem penyigi langit, sebutlah LINEAR, NEAT, LONEOS, Spacewatch, CNEOS, Catalina Sky Survey dan sebagainya. Namun sistem–sistem ini masih terkonsentrasi di benua Amerika dan Eropa, sehingga belum mampu menjangkau segenap penjuru langit di atas paras Bumi kita.

Pembangunan dan pengembangan sistem–sistem sejenis di Asia, Australia dan Afrika menjadi hal yang mendesak guna memperluas cakupan. Sehingga sebuah jaringan pengamatan global yang saling berbagi informasi dapat terbentuk, tak ubahnya jaringan stasiun seismometer global yang kini telah mewujud sebagai komponen mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami.

Pelajaran yang kedua, umat manusia pada saat ini berbeda dengan kawanan dinosaurus yang punah oleh Tumbukan Kapur–Tersier 65 juta tahun silam. Kita dianugerahi akal dan budi, yang bisa diberdayakan guna memitigasi bencana tumbukan benda langit.

Banyak opsi telah ditawarkan untuk mereduksi atau bahkan mengeliminasi potensi tumbukan benda langit, khususnya pada sisi hulu. Mulai dari meledakkan benda langit pengancam itu nun jauh di antariksa berjuta kilometer jauhnya dari Bumi kita, hingga mendefleksi atau menggeser orbitnya lewat beragam cara.

Tentu saja terdapat perbedaan teknis dalam menangani benda langit berpotensi bahaya lokal (sepeti asteroid 2019 OK) dengan benda langit yang berpotensi bahaya regional (diameter antara 100 hingga 1.000 meter) dan global (diameter lebih dari 1.000 meter).

https://sains.kompas.com/read/2019/08/16/170800723/asteroid-ok-yang-nyaris-tak-oke

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke