Dalam riset itu, penelitian yang dilakukan baru praklinis awal terhadap hewan.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan kehebohan. Karena riset tersebut mengklaim bajakah dapat digunakan sebagai obat penyembuh kanker, tapi baru diujikan ke tikus.
"Uji coba terhadap tikus dan manusia itu berbeda," ujar Prof Dr dr Aru Sudoyo kepada Kompas.com, Senin (12/8/2019).
Hal yang sama pun disampaikan ahli gizi komunitas Dr dr Tan Shot Yen, M. Hum.
Kepada Kompas.com, Tan mengkritisi bahwa penemuan obat kanker dari tanaman bajakah yang diteliti siswi SMA itu masih sangat memerlukan pembuktian keilmuan terutama dalam bidang kedokteran.
Seperti kita tahu, bidang kedokteran melandaskan ilmunya dengan uji klinis dan pembuktian berdasarkan metodologi ilmiah.
Atas dasar itu, subjek uji coba yang diperlukan harus homogen dan tidak hanya bersumber pada satu sampel percobaan. Hal ini dinamakan evidence based.
Memahami evidence based medicine
Evidence based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang didasarkan pada bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita.
Dalam praktiknya, EBM memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti ilmiah terkini yang dapat dipercaya.
"Kedokteran melandaskan ilmunya dengan evidence based. Artinya, klaim-klaim kebenaran haru melalui uji, pembuktian, sesuai kaidah metodologi ilmiah. Jumlah subjek, sampel, dihitung sesuai jenis studinya," ujar Tan.
"Jadi enggak bisa satu orang dijadikan landasan klaim "keberhasilan" tindakan atau pengobatan," tegas dia.
Dalam EBM, ada beberapa tahapan proses yang harus dilakukan.
Dimulai dengan tahap percobaan pada hewan hingga fase akhir berupa praktik langsung untuk melihat dampak uji coba jangka panjang.
"Evidence based medicine juga punya hierarki. Tidak semua jenis studi punya nilai sama. Jadi, pendapat pakar saja itu sangat lemah," ungkap Tan.
Oleh sebab itu, Tan mengatakan testimonial sangat ringkih dan tidak bisa dipertanggungjawabkan untuk dianggap bisa mewakili semua populasi.
"Pengalaman itu bias sekali. Apa yang baik dan benar bagi satu orang, belum tentu baik dan benar bagi orang lain," jelas Tan.
"Soal kanker, lebih ngeri lagi. Iya kalo itu kanker, kalau cuma abses biasa? Tidak pernah ada sejarah kedokteran membuktikan kanker payudara stadium empat bisa bertahan sampai dengan seperti kesaksian keluarga yang 'minum air seduhan bajakah'," tutp Tan.
Dalam artikel berjudul Siswi SMA di Kalteng Temukan Penyembuh Kanker? Ini Tanggapan Ahli, Aru menegaskan bahwa memang ada banyak sekali obat kanker yang berasal dari tanaman herbal khas Indonesia.
Biasanya bukan berupa dedaunan, bisa berupa akar bahkan kulit batang pepohonan.
Namun, butuh proses panjang atau lama untuk memastikan secara benar manfaatnya terhadap pengobatan kanker pada manusia.
Namun demikian, Aru tetap berharap agar penemuan dan uji awal yang dilakukan kedua siswa tersebut memang benar, dan bisa dilanjutkan hingga terealisasi kepada kanker payudara manusia.
"Saya tidak menampik, ada kemungkinan memang bisa tumbuhan itu (Bajakah) digunakan untuk obat kanker. Tapi banyak fase yang harus dilalui, dan semoga saja ada yang mau membantu proses penelitian tersebut berlanjut," imbuhnya.
Sebelumnya diberitakan pula, kedua siswa asal SMA Negeri Palangka Raya, Anggina Rafitri dan Aysa Aurealya Maharani, meraih medali emas di World Invention Creativity Olympic (WICO), Seoul, Korea Selatan.
Keduanya disebut menemukan obat penyembuh kanker dari akar tumbuhan Bajakah (tumbuhan khas Kalimantan Tengah) yang dibubukkan.
Ketika bubuk Bajakah diuji cobakan ke tikus, Anggina dan Aysa menemukan bahwa sel tumor bisa menghilang dalam waktu dua minggu.
Sumber: Kompas.com (Angga Setiawan, Ellyvon Pranita)
https://sains.kompas.com/read/2019/08/14/173200023/untuk-jadi-obat-kanker-bajakah-harus-lewati-evidence-based-medicine-