Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Heboh Bajakah Obati Kanker, Sudahkah Pemberitaan Kita Proporsional?

KOMPAS.com – Beberapa waktu belakangan nama tanaman bajakah mendapatkan perhatian masyarakat Indonesia menyusul prestasi tiga siswa asal Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang memenangkan medali emas dalam kompetisi sains di Korea Selatan.

Dalam penelitian tersebut, mereka mengklaim bahwa tanaman bajakah memiliki senyawa yang mampu melawan kanker.

Penelitian tentang bajakah sebagai obat pembunuh kanker ini mendapat sambutan meriah dari para warganet. Kebanyakan menyambut baik hasil studi pada siswa SMA 2 Palangkaraya tersebut.

Meski begitu, dokter sekaligus ahli nutrisi, Dr. dr. Tan Shot Yen, M.hum menilai pemberitaan mengenai penelitian siswa SMA 2 Palangkaraya, Kalimantan Tengah ini belum proporsional.

"Sudah waktunya reportase indonesia lebih bergengsi, punya literasi ketimbang mengejar sensasi. Buat apa rating naik, tapi yang disebarkan adalah impulsivitas sesaat orang-orang yang tidak diarahkan untuk kepentingan umat manusia ke depannya," ungkapnya kepada Kompas.com, Selasa (13/8/2019).

"Bisa dibayangkan, pembimbing atau guru-guru kita yang juga terlalu terburu-buru mengejar euforia, padahal bisa jadi judul paper dan isi penelitian serta kolom diskusi nya tidak seheboh pemberitaan nasional" imbuh Tan.

Pemberitaan tentang penemuan tersebut memang menimbulkan kontroversi sebab diklaim dapat menghilangkan sel kanker dalam tubuh.

Namun, hingga saat ini, penelitian tersebut belum sampai pada uji klinis. Terkait dengan penemuan tersebut masih dinilai perlu penelitian lebih lanjut.

Tan menilai pemberitaan mengenai khasiat tanaman bajakah ini terlalu berlebihan. Pasalnya, kandungan senyawa yang ada di tanaman bajakah juga ada pada tumbuhan lain.

Seperti yang diketahui, penilitian para siswa SMA 2 Palangkaraya itu dilanjutkan dengan uji sampel penelitian lanjutan, yang menggunakan dua ekor mencit atau tikus betina atau tikus kecil berwarna putih. Dua mencit tersebut sudah di induksi atau disuntikan zat pertumbuhan sel tumor atau kanker.

Sel kanker berkembang di tubuh tikus ditandai dengan ciri banyaknya benjolan pada tubuh, mulai dari ekor hingga bagian kepala. Beberapa hasil uji laboratorium ditemukan fenolik, steroid, tannin, alkonoid, saponin, terpenoid, hingga alkonoid pada tumbuhan Bajakah.

“Jika urusan polifenol, tannin dan kawan-kawan saja, apel pun punya," tegas Tan.

"Dan pada dasarnya semua functional food, sayur dan buah kaya antioksidan tersebut. Tapi untuk disebut sebagai obat kanker, ini lebay sekali,” sambungnya.

Selain itu, menurut Tan, induksi tumor pada mencit pun tidak melalui tahapan patologi anatomi.

"Jenis apa benjolan yang dihasilkan si mencit? Kanker? Apa jenis kankernya? Ada di jaringan apa? Bagaimana dengan replikasi pada manusia? Bagaimana mengukur dosis letal? Masih banyak lagi," kata Tan.

"Jadi jika abstrak dan tulisan penelitiannya disebut High Contents of Antioxidant in Bajakah Potential For Further Research in Cancer Treatment barangkali lebih masuk akal," tegasnya.

Tan juga menjelaskan ada beberapa faktor penemuan obat kanker yang diteliti oleh Siswa SMA 2 Palangkaraya tersebut perlu pembuktian keilmuan terutama dalam bidang kedokteran.

Bukan rahasia lagi jika bidang kedokteran melandaskan ilmunya dengan uji klinis dan pembuktian berdasarkan metodologi ilmiah. Subjek uji coba yang diperlukan juga harus homogen dan tidak hanya bersumber pada satu sampel percobaanyang dinamakan evidence based.

"Kedokteran melandaskan ilmunya dengan EVIDENCE BASED. Artinya, klaim-klaim kebenaran harus melalui uji, pembuktian, sesuai kaidah metodologi ilmiah. Jumlah subjek, sampel, DIHITUNG sesuai jenis studinya. Jadi nggak bisa 1 orang dijadikan landasan klaim 'keberhasilan' tindakan atau pengobatan," tegasnya.

Evidence based juga terdapat tahapan proses yang harus dilakukan dimulai dengan tahap percobaan kepada hewan, dan pada fase akhir dilakukan praktet langsung melihat dampak uji coba dalam jangka Panjang.

“Evidence based medicine juga punya hirarki. Tidak semua jenis studi punya nilai yang sama. Jadi, pendapat pakar saja itu sangat lemah," ujar Tan.

"Studi kasus pun masih kalah dibanding RCT (studi kontrol acak), dan meta-analisis adalah suatu kajian mendalam dari berbagai jenis studi yang menelaah kasus yang sama, sehingga bisa menyimpulkan suatu klaim ilmiah yang lebih bertanggung jawab," tambahnya.

Tan juga menilai penelitian yang dilakukan dengan satu sampel tidak mencerminkan sampel yang lainnya.

Satu jenis dengan jenis yang lainnya memiliki karakteristik yang berbeda sehingga ada kemungkinan hasil percobaan memiliki perbedaan.

Terakhir Tan menyampaikan terkait dengan berita heboh yang beredar tentang penemuan obat kanker tersebut agar tidak dilebih-lebihkan. Apalagi jika khasiat suatu obat atau tanaman hanya berdasarkan testimoni seseorang saja.

"Testimonial adalah suatu kesaksian, EXPERIENCE BASED. Dari pengalaman individu, yang amat ringkih dan tidak bertanggung jawab untuk dianggap 'mewakili semua populasi seperti dia'. Pengalaman itu bias sekali, apa yang baik dan benar bagi 1 orang, belum tentu baik dan benar bagi orang lain," kata Tan. 

“Soal kanker, lebih ngeri lagi. Iya kalo itu kanker, kalau cuma abses biasa? Dan tidak pernah ada sejarah kedokteran membuktikan kanker payudara stadium empat bisa bertahan sampai dengan seperti kesaksian keluarga yang 'minum air seduhan bajakah'," paparnya.

Tan juga mengingatkan agar pemberitaan mengenai hal semacam ini bisa lebih proporsional.

https://sains.kompas.com/read/2019/08/14/100000923/heboh-bajakah-obati-kanker-sudahkah-pemberitaan-kita-proporsional

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke