Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kasus Orang Pura-pura Mati di Sampang, Bagaimana Sains Melihat Mati Suri?

KOMPAS.com – Robi Anjal (38) asal Pontianak mengejutkan warga Sampang, Jawa Timur karena pura-pura mati. Robi ketahuan karena saat kakinya digelitik, dia tiba-tiba bangun dan terjatuh dari ranjang ambulans. Akibat aksinya, dia pun dilaporkan ke polisi oleh warga.

Meskipun Robi cuma pura-pura mati, sebetulnya kasus orang mati kemudian hidup lagi lumayan sering terjadi di seluruh penjuru dunia.

Salah satu kasus mati suri yang paling terkenal adalah kejadian tahun 2014 ketika seorang wanita Polandia berusia 91 tahun, Janina Kolkiewicz, mengejutkan keluarganya karena tiba-tiba bangun di kamar mayat. Padahal, wanita itu telah dinyatakan mati secara klinis dan disimpan selama 11 jam di dalam ruang berpendingin.

Pada bulan Januari tahun yang sama, seorang pria Kenya berusia 24 tahun bangun di kamar mayat 15 jam setelah dinyatakan meninggal karena meminum cairan insektisida. Lalu pada bulan Maret 2014, Walter Williams yang berusia 78 tahun juga ditemukan hidup kembali beberapa saat sebelum petugas pemakaman mengawetkan tubuhnya.

Dalam artikel The Guardian, 14 November 2014, Carla Valentine dari Barts Pathology Museum menjelaskan bahwa ketiga kasus ini punya satu kesamaan: mereka mungkin sebetulnya tidak benar-benar mati.

Kolkiewicz memiliki detak jantung yang sangat lemah karena masalah kesehatannya, sedangkan pria Kenya diberi atropine yang memperlambat detak jantung oleh petugas medis untuk menangkal cairan insektisidanya. Dalam kasus Williams, orang yang menyatakannya mati belakangan ditemukan bukan lulusan medis.

Apa yang diungkapkan oleh Valentine ini senada dengan penemuan Mark Crislip, seorang dokter di Oregon Emegency Room.

Crislip menelaah hasil elektroensefalograf (EEG) yang merekam aktivitas elektrik di sepanjang kulit kepala dan mengukur fluktuasi tegangan yang dihasilkan oleh arus ion di dalam otak para pasien yang disebut mati suri. Dia menemukan bahwa mayoritas pasien-pasien ini tidak benar-benar mati.

"Hanya sedikit yang memiliki garis datar atau benar-benar mati. Kondisi itu hanya terjadi selama 10 detik sebelum sadar. Anehnya, aliran darah sesedikit apapun masih dapat menjaga normalitas EEG," ujar Crislip, seperti dilansir dari Big Think, 11 Januari 2018.

Kesalahan-kesalahan para ahli dalam memutuskan apakah seseorang telah mati atau tidak. bisa jadi disebabkan oleh bagaimana komunitas medis mendefinisikan kematian itu sendiri.


Hingga kini, mereka masih memperdebatkan definisinya karena kematian harus dilihat sebagai sebuah proses, bukan satu kejadian tersendiri. Pasalnya, kematian melibatkan berhentinya berbagai macam mekanisme.

Valentine menjelaskan bahwa ketika jantung berhenti berdetak, jaringan yang disuplai oksigen dan glukose oleh jantung pun terganggu kerjanya. Gangguan kerja jaringan kemudian bisa menyebankan menumpuknya kotoran yang bisa mematikan sel. Jika sel yang mati cukup banyak, terjadilah kegagalan organ dan tubuh dinyatakan mati.

“Sel-sel otak yang lemah paling mudah terpengaruh oleh kekurangan oksigen (anoxia) dan mereka biasanya mulai mati setelah 4-6 menit (setelah jantung berhenti),” tulis Valentine.

Namun, temperatur dingin, seperti yang dialami oleh Kolkiewicz ketika disimpan dalam kamar mayat, bisa memperlambat kematian sel. Ketika memasuki kondisi hibernasi, sel-sel kulit bahkan bisa bertahan hidup hingga 24 jam setelah jantung berhenti berdetak.

Itulah sebabnya ketika Kolkiewicz bangun di kamar mayat 11 jam kemudian, dia baik-baik saja dan tidak mengalami gangguan apa pun selain rasa lapar.

https://sains.kompas.com/read/2019/07/31/080500523/kasus-orang-pura-pura-mati-di-sampang-bagaimana-sains-melihat-mati-suri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke