Pekan lalu masyarakat diresahkan dengan kabar potensi gempa di selatan Jawa yang bisa mencapai magnitudo 8,8 dan tsunami di Yogyakarta mencapai 20 meter.
Kabar tentang potensi tsunami juga pernah mencuat pada April 2018. Saat itu ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko mengungkap, kawasan Pandeglang Banten berpotensi mengalami tsunami dengan ketinggian 57 meter.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono mengatakan, masyarakat harus mau jujur mengakui dan menerima kenyataan bahwa wilayah Indonesia memang rawan gempa dan tsunami.
"Khususnya wilayah selatan Jawa, keberadaan zona subduksi Lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Lempeng Eurasia merupakan generator gempa kuat sehingga wajar jika wilayah selatan Jawa merupakan kawasan rawan gempa dan tsunami," tegas Daryono kepada Kompas.com, Sabtu (20/7/2019).
Sejarah mencatat tsunami selatan Jawa pernah terjadi pada 1840, 1859, 1921, 1994, dan 2006.
"Ini bukti bahwa informasi potensi bahaya gempa dan tsunami yang disampaikan para ahli adalah benar, bukan berita bohong," ujar Daryono.
Cara ahli mendapat simulasi potensi gempa dan tsunami
Widjo Kongko yang juga Perekayasa Bidang Kelautan Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamikan Pantai (BTIPFP) BPPT mencoba memberi gambaran sederhana terkait simulasi potensi gempa dan tsunami di Indonesia.
Dalam hal ini disebut Indonesia karena memang bukan hanya Jawa yang berpotensi mengalami gempa besar dan tsunami.
Sama seperti Daryono, sebelum menjelaskan lebih lanjut Widjo juga mengingatkan agar masyarakat memahami betul bahwa kita hidup di negara rawan gempa dan tsunami.
Gempa besar dan tsunami tercatat pernah beberapa kali terjadi di Indonesia sejak ratusan tahun lalu.
Aktivitas lempeng tektonik bumi terus bergerak, dan Indonesia diapit oleh tiga lempeng tektonik. Sehingga, bukan tidak mungkin peristiwa gempa besar dan tsunami akan kembali terjadi.
Nah, para ilmuwan seperti Widjo Kongko, Daryono dari BMKG, Eko Yulianto dari LIPI dan lain sebagainya kemudian membuat simulasi dari potensi gempa besar dan tsunami di Indonesia itu.
Mereka bukan memprediksi. Sekali lagi, memprediksi berbeda dengan memberi gambaran akan adanya potensi. Hingga saat ini pun, belum ada alat pendeteksi gempa ataupun tsunami di dunia.
Dari simulasi potensi yang dibuat para ahli, diharapkan kita semua dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik dan sadar bahwa negeri kita memang rawan bencana.
"Potensi itu sudah kami (ilmuwan) ketahui dan apa yang kami sampaikan berdasarkan reverensi buku Pusgen 2017 (Pusat Studi Gempa Bumi Nasional)," ujar Widjo saat ditemui Kompas.com pada Minggu (28/7/2019) di Yogyakarta.
Selain menjadikan buku Pusgen sebagai reverensi, para ilmuwan juga melakukan simulasi dengan beberapa skenario pemodelan.
"Skenario (pemodelan) yang diambil adalah kemungkinan potensi gempa dan tsunami terburuk. Seperti di Selatan Jawa kemarin kami menemukan ada potensi gempa besar dengan magnitudo 8,8," papar dia.
Untuk melakukan pemodelan atau simulasi, Widjo dan tim ilmuwan lain memasukkan berbagai macam data ke komputer, sama seperti yang dibuat Jepang, AS, dan lainnya.
Data itu mulai dari kedalaman laut, sumber gempa, bagaimana mekanisme gempanya apakah termasuk gempa dangkal atau tidak, episenter gempa di mana, dan apakah termasuk sesar naik, sesar turun, atau sesar geser. Widjo mengatakan, parameter-parameter lain juga wajib dimasukkan.
"Dari data kemudian bisa dilihat apakah gempa besar dapat menimbulkan tsunami, jika iya tingginya berapa meter," jelas Widjo.
Dengan persamaan matematik tertentu, model ini juga bisa melihat gelombang air merambat ke arah mana saja dan berapa waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke pantai.
"Nah di pantai tingginya berapa (tsunami), kemudian sampai di pantai berapa menit. Itu semua kita hitung dan ini simulasi ya," ujar Widjo mengingatkan.
Selain mencari potensi gempa dan tsunami, Widjo menuturkan para ahli juga melakukan kajian bila air masuk ke daratan kira-kira jauhnya berapa kilometer, dan lain-lain.
Dengan ahli membuat simulasi besaran gempa dan tsunami, hal ini akan membantu mereka mengetahui seberapa besar potensi tersebut.
"Walaupun simulasi, jangan sampai salahnya lebih dari 20 persen," ujar Widjo.
Dalam melakukan riset, para ahli memiliki prosedur laboratorium dengan berbagai syarat ketat supaya tidak jauh perbedaannya dengan nanti di lapangan.
Syarat itu antara lain, data harus valid dan skenario yang dibangun harus menunjukkan skenario terburuk atau maksimum.
"Model simulasi seperti ini sangat bermanfaat karena sebetulnya di dalam mitigasi, yang paling penting di hulu atau awalnya, harus mengetahui ancaman potensi," ujar Widjo.
"Seperti khusus untuk selatan Jawa kemarin (magnitudo) 8,8. Kemudian hasil lain kira-kira tinggi maksimalnya (tsunami) 20 meter di sekitar DIY, 30 menit sampai di pantai, dan penetrasinya bisa tiga sampai empat kilometer," imbuh Widjo.
Widjo menceritakan, saat dia menjelaskan tak sedikit awak media yang menanyakan kapan hal terjadi.
Dia menjelaskan, untuk gempa dan tsunami tidak bisa diprediksi, tapi dicari bagaimana potensinya.
"Kalau parameternya waktu, untuk gempa bumi dan tsunami masih belum bisa," terang dia.
"Lokasi mungkin, kita bisa melihat potensi yang paling mungkin. Namun untuk kapan, tidak bisa dihitung meski ada siklusnya," imbuh dia.
Widjo mengatakan, potensi ini dikeluarkan untuk membuat pemerintah daerah dan masyarakat saling bersiap. Pemda memiliki anggaran untuk tanggap bencana, masyarakat pun siap dan tahu apa yang harus dilakukan.
https://sains.kompas.com/read/2019/07/29/182944823/selatan-jawa-berpotensi-alami-tsunami-begini-cara-ahli-menghitungnya