Sebagian besar daerah di Tanah Air berada di lingkar cincin api atau ring of fire sehingga masyarakat harus siap dan memahami mitigasi terhadap potensi bencana ini.
Mitigasi dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan suatu bencana sehingga masyarakat dapat tetap hidup dengan selamat, aman, dan nyaman di daerah rawan gempa.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono menjelaskan, gempa dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu foreshock, mainshock, atau aftershock.
Foreshock atau gempa pendahuluan merupakan gempa yang mendahului sebelum gempa utama atau gempa besar terjadi.
Daryono menjelaskan, gempa pendahuluan atau foreshock sulit dikenali.
"Kecuali ketika rangkaian gempa yang terjadi sudah berakhir," kata Daryono saat dihubungi Kompas.com, Kamis (25/7/2019) malam.
Menurut Daryono, menganalisa dan mengidentifikasi tipe gempa membutuhkan waktu yang berbeda-beda.
"Berapa lama? Bisa 3 bulan sebelumnya, bisa 2 bulan, bisa seminggu sebelumnya, sehari sebelumnya atau beberapa jam sebelumnya," ujar dia.
Belum tentu gempa yang terjadi di suatu wilayah diikuti oleh gempa-gempa lainnya (gempa memang sudah selesai).
Meskipun, ada pula gempa yang disusul guncangan lain dalam jangka waktu tertentu.
Pahami soal potensi gempa
Sebelumnya, seperti diberitakan Kompas.com, Minggu (21/7/2019), Daryono menegaskan, hingga saat ini gempa kuat belum dapat diprediksi secara pasti baik waktu, lokasi, dan kekuatannya.
"Kapan gempa terjadi belum ada yang tahu sehingga jangan mudah percaya isu yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya," kata Daryono.
Ia meminta masyarakat untuk memahami definisi potensi tsunami.
Menurut Daryono, potensi didasarkan atas sejarah dan perhitungan dengan angka deviasi lebar. Sementara, prediksi lebih ke sesuatu yang hampir pasti akan terjadi dalam waktu dekat.
Geologi menggunakan parameter waktu yang sangat panjang, mulai dari 10.000 tahun hingga jutaan tahun.
Kesalahpahaman dan timbulnya keonaran di masyarakat dapat muncul saat menerima informasi potensi fenomena alam seperti gempa dan tsunami yang tidak lengkap.
Pelacak jejak tsunami purba dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mengatakan, potensi berarti suatu fenomena yang pasti akan terjadi, namun tak diketahui kapan terjadi.
Ketika terjadi, fenomena dapat mencapai titik maksimal (potensi) berdasarkan data yang ada.
Oleh karena itu, saat merespons informasi mengenai potensi gempa dan tsunami, maka hal utama adalah memahami ancaman dan perilaku manusia seperi apa yang dapat mengubahnya menjadi bencana.
Misalnya, ketika gempa bumi terjadi banyak korban muncul akibat robohnya suatu bangunan.
"Jadi, kalau ada yang tidak peduli dengan rumahnya tidak kuat, maka itu akan menjadi aspek manusia yang mengubah ancaman (gempa) jadi bencana (gempa)," papar Eko.
Demikian pula dengan tsunami.
Jika masyarakat tak peduli, terutama tinggal di pesisir yang mempunyai ancaman tsunami dan tidak mempersiapkan atau berlatih tsunami datang, aspek manusia pun akan mengubah ancaman tsunami menjadi bencana tsunami.
"Peristiwa gempa bumi dan tsunami adalah keniscayaan di wilayah Indonesia. Yang penting dan harus dibangun adalah mitigasinya, kesiapsiagaannya, kapasitas stakeholder dan masyarakatnya, maupun infrastruktur untuk menghadapi gempa dan tsunami yang mungkin terjadi," kata Daryono.
(Sumber: Kompas.com (Shierine Wangsa W)
https://sains.kompas.com/read/2019/07/26/071820723/belajar-dari-potensi-gempa-di-indonesia-apa-itu-gempa-pembuka