KOMPAS.com - Media sosial twitter diramaikan dengan tagar #gaji8juta sejak Kamis (25/07/2019). Hastag ini menjadi trending menyusul unggahan sebuah akun yang tidak diketahui identitasnya.
Dalam unggahan tersebut, penulis pesan mengungkapkan keluhannya atas tawaran gaji sebesar Rp 8 juta yang ditawarkan oleh sebuah perusahaan.
"Jadi tadi gue di undang interview kerja perusahaan lokal. Dan nawarin gaji kisaran 8 juta doang. Helllooo, meskipun gue fresh graduate gue lulusan UI Pak!! Universitas Indonesia." tulis narasi dari akun tersebut.
"Jangan disamain ama fresh graduate kampus lain dong ah...level UI mah udah perusahaan LN, kalai lokal mah oke aja asal harga cucok," demikian isi unggahan itu.
Unggahan tersebut kemudian mendapat berbagai respons dari warganet. Kabanyakan menyangkan isi narsi itu yang melepas kesempatan mendapat pekerjaan dengan gaji 8 juta.
Meski begitu, sebenarnya "menghargai" diri untuk sebuah pekerjaan adalah hal yang sah-sah saja dan wajar dilakukan siapapun. Pendapat senada juga diungkap oleh pengamat pendidikan, Doni Kusuma Albetrus.
"Meminta gaji besar adalah hak individu. Siapa saja boleh. Bukan hanya orang lulusan UI," ungkap Doni saat dihubungi Kompas.com, Kamis (25/07/2019).
"Individu juga berhak menolak perusahaan tertentu. Ini bebas-bebas saja di alam demokrasi," tegasnya.
Hal ini juga diungkapkan oleh psikolog dan talent management Engineering Career center Universitas Gadjah Mada, Gita Aulia Nurani.
Gita menuturkan, bisa jadi, sebelum melamar sebuah pekerjaan orang sudah melakukan riset atau mencari informasi gaji yang sesuai dengan jurusan dan bidang kerja.
"Tapi, yang perlu menjadi catatan di sini adalah permintaan gaji harus sejalan dengan kompetensi dan skill yang dimiliki," tegas Gita.
Almamater Menentukan Gaji?
Meski hal yang wajar meminta gaji tertentu, tapi yang menjadi pertanyaan warganet dalam narasi yang beredar adalah apakah almamater bisa menentukan jumlah gaji yang diperoleh seseorang.
Menurut Doni, hal tersebut justru menunjukkan kekeliruan berpikir.
"Yang jadi masalah adalah apakah karena seseorang lulusan UI lalu berhak memperoleh gaji besar karena universitasnya? Di sini ada kekeliruan berpikir," tutur Doni.
Menurut Doni, ketika bekerja, seseorang itu menawarkan kemampuan, keterampilan dan pengetahuannya.
"Jadi, kemampuan diri yang dijual. Ia bukan sedang berjuang atas nama kampus. Tapi memperjuangkan kepentingannnya sendiri," kata Doni.
"Maka, latar belakang institusi tidak masuk dalam logika bursa kerja, karena tidak semua alumni UI berkualitas, dan tidak semua yang non-UI tidak berkualitas," sambungnya.
Dia juga menambahkan, kalau ada seseorang menuntut gaji tinggi karena almamaternya, artinya ada perbedaan persepsi yang mendasar.
"Jadi, kalau ada alumni UI menuntut gaji tinggi karena ia alumni UI, artinya alumni UI ini logikanya tidak jalan," tegasnya.
Hal ini juga diungkapkan oleh Gita. Dia menyebut bahwa masih ada orang yang menganggap citra kampus adalah hal penting dalam menentukan gaji seseorang.
Namun, Gita menjelaskan pula bahwa sudah banyak yang berpikir bahwa nama kampus bisa dikalahkan dengan attitude, soft skill, dan kompetensi kandidat.
"Jadi mau berasal dari kampus mana pun tidak masalah selama kandidat tersebut bisa menunjukkan diri sebagai 'emas' dan memiliki faktor pembeda dari fresh graduate kebanyakan," kata Gita.
https://sains.kompas.com/read/2019/07/25/190100523/viral-tolak-gaji-8-juta-pakar-pendidikan-sebut-logikanya-tidak-jalan