Melihat banyaknya konten-konten negatif seperti itu, mungkin membuat beberapa dari kita muak dan merasa perlu detoks media sosial demi kebahagiaan pribadi.
Namun, benarkah diet detoks media sosial itu diperlukan?
Rizqy Amelia Zein, psikolog sosial dari Universitas Airlangga, Surabaya menjelaskan, hingga saat ini belum banyak riset tentang diet detoks bermedsos yang dihubungkan dengan kewarasan individu.
Memang, ada satu riset tentang hubungan keduanya yang kerap menjadi acuan pertimbangan. Namun setelah didalami Amel, riset itu dirasa menimbulkan keambiguan karena banyaknya masalah dalam konten.
Studi paling anyar tentang hubungan antara screen time (termasuk gaming, bermedia sosial) dan psikologis remaja, menunjukkan efek sangat kecil yang bisa dibilang hampir tidak ada pengaruh.
"Jadi jujur, saya tidak memiliki jawaban yang agak meyakinkan apakah diet detoks itu bakal ngaruh ke kondisi psikologis pemakainya," ungkap Amel kepada Kompas.com melalui pesan singkat, Rabu (24/7/2019).
Menurut Amel, istilah gadget, gaming, atau social media addiction belum memiliki bukti saintifik yang meyakinkan, begitu pula efeknya.
"Iya belum ada bukti (apakah diet detoks bermedsos berpengaruh ke kondisi psikologis pemakai). Apalagi ke kepribadian ya, malah lebih kompleks lagi nanti pembuktiannya," ungkap Amel.
Meski demikian, bila ada orang yang memutuskan untuk berhenti bermedsos sejenak demi kebahagiaan jiwa, itu tidak ada salahnya dan bagian dari kontrol diri untuk bisa menghadapi persoalan dengan jernih.
"Kalau dalam konteks perilaku offline, timeout ketika sedang marah memang bentuk kontrol diri, supaya reaksi/respons kita bisa lebih proporsional ketika menghadapi persoalan," jelas dia.
Namun karena hingga saat ini belum banyak studi yang membahas hubungan diet detoks bermedsos dengan kondisi psikologis seseorang, Amel menduga diet detoks tetap sulit dilakukan.
"Menurutku secara logika, perilaku offline agak berbeda dengan cyber behavior karena ada perasaan FOMO (Fear of Missing Out alias perasaan cemas karena takut ketinggalan informasi di media sosial), sementara di konteks perilaku sehari-hari atau offline kan enggak ada (FOMO)," imbuh dia.
Dia menduga, ketika seseorang sedang offline mungkin perasaan FOMO kecil atau hampir tidak ada.
Sementara, jika konteksnya menggunakan sosial media, meski kita memilih untuk diet secara sadar, perasaan FOMO masih sangat mungkin terjadi.
Sehingga menurut Amel, keinginan untuk diet detoks bermedsos bisa saja dengan mudah gagal karena adanya perasaan FOMO tadi.
"Tapi ini belum ada buktinya ya, dugaan saya saja," ujar Amel kembali mengingatkan.
Kini, masalah ingin diet detoks bermedsos atau tidak kembali pada diri kita masing-masing. Jika perlu diet bermedsos tak ada salahnya dilakukan, tapi jika sudah gatal ingin kembali bermedsos jangan malu untuk memasuki dunia maya lagi. Terpenting, selalu bijaklah dalam bermedsos.
https://sains.kompas.com/read/2019/07/25/074057323/viral-lisa-marlina-dan-bau-ikan-asin-perlukah-kita-detoks-bermedsos