Penangkapan Jerfi Nichol menunjukkan bahwa ganja (Cannabis indica) bagi bangsa Indonesia adalah musuh yang siap menghancurkan.
Indonesia masa kini menggolongkan ganja sebagai narkotika, ancaman bagi bangsa. Akibat buruknya, misalnya memicu skizofrenia, disebarluaskan.
Namun luput dari pemahaman banyak pihak, ganja yang kini musuh bersama dulu pernah menjadi teman akrab bangsa Indonesia.
Buku berjudul Herbarium Amboinense yang ditulis oleh HE Rumphius, pakar tumbuhan asal Belanda, menjadi bukti keakraban bangsa Indonesia dengan ganja.
Dalam buku yang terbit tahun 1741 tersebut, ganja bagi masyarakat Maluku dideskripsikan sebagai obat mujarab. Ia bisa mengobati sesak nafas, asma, hingga gonorhea.
Yang menarik, Rumphius mengatakan bahwa Maluku mendapatkan bibit ganja dari Jawa. Padahal, tak banyak orang jawa akrab dengan ganja sebelum adab 19.
Katalog tahun 1915 yang dibuat oleh WG Boorsma dari Pharmacologisch laboratorium, bagian dari Kebun Raya Bogor, menunjukkan bahwa ganja akrab dengan masyarakat Jawa abad 19.
Dalam buku itu, orang Jawa digambarkan biasa mencampur ganja dengan tembakau dan menjadikannya rokok, dibungkus memakai daun pisang.
Meski dikatakan tak dikenal luas, namun masyarakat Jawa punya sebutan tersendiri untuk ganja, salah satunya adalah genji.
Pada masa itu, rokok ganja juga diiklankan di koran yang segmennya adalah orang Belanda. Orang Hindia Belanda menyebutnya Indian hemp.
Permulaan Kriminalisasi
Buku terbitan Transnational Institute berjudul "Cannabis in Indonesia: Patterns in Consumption, Production, and Policies"mengungkap bahwa kriminalisasi ganja bermula pada 1912.
Konvensi Opium International di Den Haag pada tahun 1912 mulai membahas pentingnya mengkaji ganja secara ilmiah serta penggunaannya di masyarakat.
Katalog Boorsma adalah salah satu hasil studi ganja di Hindia Belanda. Dalam publikasi itu, Boorsma sama sekali tak menemukan penyalahgunaan ganja.
Awalnya, tak ada pembatasan tentang konsumsi maupun budidaya ganja. Namun Dekrit Narkotika dari Belanda pada 1927 akhirnya memicu pembatasan ganja.
Sebelum dekrit tersebut, penjualan dan pengiriman ganja dikenai hukuman hingga 1000 gulden. Penangkapan terakit konsumsi ganja untuk tujuan rekreasi meningkat drastis pada tahun 1930-an.
Aturan dekrit itu berlaku hingga 1976. Setelahnya, Indonesia memiliki peraturan sendiri yang menghukum pengedar ganja hingga seumur hidup, penggunaan pribadi 2 tahun penjara, dan budidaya hingga 6 tahun penjara.
Tahun 1997, hukuman penggunaan ganja secara pribadi bertambah menjadi 6 tahun penjara. Sementara untuk ekspor impor, sanksinya bisa berupa hukuman mati dan denda antara Rp 1 - 7 miliar.
Mulai tahun 2009, pengguna ganja bisa dikenai hukuman hingga 4 tahun penjara dan/atau rehabilitasi. Sementara perdagangan 1-5 kg tanaman bisa dikenai hukuman mati dan denda lebih dari 10 miliar.
Saat ini, ganja dinilai sama dengan obat narkotika lainnya. Penggunaannya terbatas untuk kegiatan penelitian saja.
Upaya Dekriminalisasi
Tomi Hardjatno, ahli narkotika dan konsultan untuk Badan Narkotika Nasional (BNN) menentang demonisasi ganja di Indonesia. Sebabnya, di Aceh ganja bahkan digunakan sebagai bumbu masak.
Dia mengamini bahwa daun ganja punya efek halusinogen tetapi mengatakan bahwa dampak negatifnya tidak sebesar yang dikira.
Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu mengatakan bahwa dirinya tidak setuju jika ganja dilegalkan. Namun pada saat yang sama menyatakan, ganja boleh saja dipakai sebagai bumbu masak.
Tahun 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran yang diantaranya berisi bahwa orang yang memiliki ganja hingga 5 gram berhak mendapatkan rehabilitasi.
Publikasi Transnational Institute mengungkap, kenyataannya upaya rehabilitasi itu kadang lebih bernuansa penangkapan dan pemidanaan.
Menurut Transnational Institute, ganja sebaiknya dilegalkan saja. Kriminalisasi ganja justru memicu munculnya narkoba baru, misalnya opium sintetik atau rokok gorilla.
https://sains.kompas.com/read/2019/07/24/193100823/lewat-jefri-nichol-mengungkap-kisah-ganja-dari-teman-akrab-jadi-musuh-bersama