Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Berkaca dari Viral Lisa Marlina, Psikolog Tekankan Pentingnya Empati

Unggahan sensitif Lisa kemudian dilaporkan oleh Ni Luh Djelantik, seorang desainer asal Bali ke pihak kepolisian.

Lisa dalam akun Twitternya sudah meminta maaf dan mengaku ada typo dalam kicauannya.

Menanggapi kasus ini, psikolog sosial dari Universitas Airlangga, Surabaya, Rizqy Amelia Zein berkata bahwa kasus ini sudah semestinya menjadi pembelajaran kita bersama untuk bijak menggunakan sosial media.

Amel mengingatkan bahwa kita hidup di negara yang sangat beragam, - mulai dari suku bangsa, budaya, etnis, adat, dan lain sebagainya - dan penting untuk saling menghormati dan menghargai.

"Harusnya ada kesadaran bahwa kita hidup bersama dan berdampingan dengan kelompok sosial berbeda, budaya berbeda, suku berbeda," ungkap Amel kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Selasa (24/7/2019).

Berkaitan dengan hal ini, di dalam ilmu psikologi ada istilah kecerdasan kultural. Ini terkait dengan sikap saling menghargai dan menghormati tata nilai, kebiasaan, adat istiadat, budaya, dan lainnya yang dimiliki orang lain.

"Kita enggak harus mengikuti cara hidup orang lain, tapi kita bisa menghargai dengan cara tidak berkomentar yang tidak perlu," ujar Amel.

Oleh karena itu Amel mengingatkan, agar kita berpikir sebelum berucap. Jika kita mengomentari daerah lain, apa dampaknya.

Setidaknya bayangkan jika kita menjadi lawan bicara, apakah kita akan tersinggung atau tidak.

"Misalnya nih, saya mau berkomentar soal orang Bali. Sebelum bicara, saya membayangkan jika mendengar komentar seperti yang ingin saya katakan, kira-kira saya bakal ngamuk enggak," jelas dia.

Amel berkata, jika kita mau membayangkan menjadi orang lain setidaknya kita juga belajar tentang empati.

Cara merespons orang yang berkomentar negatif tentang daerah kita

Menjadi sensitif ketika ada orang lain, di luar kelompok sosial dan daerah, yang mengomentari tempat tinggal kita adalah hal lumrah.

Pasalnya, meski komentar tidak langsung ditujukan ke kita tapi hal yang dikomentari adalah bagian dari diri kita.

"Pada dasarnya kalau marah dan ter-trigger (karena hal seperti yang dilakukan Lisa Marlina), menurut saya itu respons yang sangat wajar dan manusiawi," ungkap Amel.

Namun, meluapkan emosi marah tetap ada batasnya. Jangan sampai karena marah kemudian kita main hakim sendiri.

Amel pun sepakat dengan tindakan Ni Luh Djelantik yang memilih melaporkan kasus Lisa Marlina ini ke pihak kepolisian untuk menempuh jalur hukum.

"Menurut saya keputusan melaporkan ke polisi dan menempuh jalur hukum jauh lebih baik dibanding menghakimi sendiri," ujar Amel.

Dia menerangkan, jika penyelesaian dilakukan lewat jalur hukum maka akan ada kebijakan yang diputuskan sesuai jalur hukum dan sebagaimana mestinya.

Hal ini juga bisa menjadi pelajaran bagi para warganet untuk tidak sembarangan menuliskan pendapat di media sosial, terutama hal-hal sensitif dan berbau SARA seperti ini.

Dari kasus ini, setidaknya orang belajar adanya perilaku yang diterima dan tidak diterima di masyarakat luas dan jagat media sosial, sehingga tidak terulang kasus-kasus serupa.

"Kita itu sebaiknya bisa respect ke orang lain dan tidak melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan kegelisahan," tutup Amel.

Selain Lisa Marlina, dulu juga ada kasus Florence Sihombing yang dianggap menghina warga Yogyakarta di media sosial.

Di luar negeri, juga ada banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan harus berurusan dengan hukum karena unggahan yang salah di media sosial.

https://sains.kompas.com/read/2019/07/24/080900023/berkaca-dari-viral-lisa-marlina-psikolog-tekankan-pentingnya-empati

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke